11.30.2011

See You Again...


In memoriam, my beloved Grandma...
(15 Desember 1945 - 28 November 2011)
Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.
(2 Timotius 4:7)
28 November 2011, telah berpulang ke Rumah Bapa di Surga, oma yang (jauh dalam hati saya yang terdalam) saya sayangi dalam usia 66 tahun. Oma yang dulu saya kenal sebagai sosok yang cerewet :’) tapi beliau baik hati, seorang Katholik, seorang yang melayani Tuhan dengan setia. Setidaknya itulah gambaran oma saya dalam benak saya.
Oma baik hati...
Oma selalu berusaha memberi angpao buat cucu-cucunya yang bahkan kadang nggak kionghi-kionghi (mengucapakan selamat tahun baru dalam kebudayaan Tionghoa) sama dia kalo Imlek. Oma bilang, “Ini bagi berempat ya. Maafin Cuma bisa ngasih segini.” Rasanya Oma pernah bertutur demikian seingat saya dan ia tertawa.
Oma selalu repot tiap kali cucu-cucunya ini datang ke rumahnya. Siapin ini, siapin itu, tante yang tinggal sama Oma pun ikut sibuk.
Oma yang selalu berusah mentraktir cucu-cucunya setiap mereka berulangtahun. Tidak peduli umur mereka sudah berapa, tradisi makan pizza adalah yang paling melekat di benak saya.
Dulu Oma sering jatuh, karena kurang hati-hati, lalu sakit. Namun kemudian sembuh, ke rumah lagi, tertawa lagi, cerewet lagi :”) Satu hal yang paling berkesan (juga membuat saya tersedu sedan ketika mengingatnya) adalah, sebelum pulang dari rumah saya, atau saya pulang dari rumah beliau, beliau selalu berujar “Belajar yang baik ya, Beb.” Lalu tangannya yang keriput membuat tanda salib di dahi saya. “Iya, mak. Pulang dulu ya.” Saya menjawab demikian. Hal tersebut terkadang saya sepelekan sampai hari di mana ia benar-benar pergi untuk selamanya.
Oma mulai sakit sejak pertengahan tahun 2011 sepertinya. Namun saat itu Oma masih bisa berjalan, masih bisa ngobrol dan mengingat orang. Sempat beliau mengajak kedua sepupu saya jalan-jalan namun saya dan adik saya berhalangan ikut. Fotonya pun dikirim kepada saya waktu itu. Oma masih sehat, pikir saya.
Kemudian, di bulan Oktober, Oma pernah ke rumah, sekali. Ia mau berobat ke dokter kenalannya. Kata mama, wajahnya seger banget pas sampai di rumah kami. Tapi, saya nggak ada di rumah waktu itu karena bentrok sama acara sekolah yang pulangnya malam, pas saya pulang, Oma juga udah pulang ke rumahnya.
Lalu di bulan November, saya denger Oma mau dioperasi. Ada cairan—entah apa namanya—dalam tubuhnya yang harus dikeluarkan. Saya nggak bisa hadir, nggak bisa men-support dia saat itu. Saya baru mengunjunginya ketika ia sudah selesai dioperasi, dan sudah duduk di kursi roda. Tubuhnya sudah ringkih, kurus, berbeda dengan yang dulu suka cerewet di rumah saya :”)
Beliau sudah kesulitan menopang tubuhnya sendiri, segala yang ingin dilakukannya harus dibantu. Ia masih mengingat saya dan masih tersenyum pada saya. “Oh ini si cici ya? Udah gede, udah punya pacar belum?” Bahkan itu godaan yang masih ia lontarkan pada saya saat itu.
Selang seminggu kemudian, saya kembali ke rumahnya, dengan Papa. Dia tidak lagi di kursi roda, namun sudah sepenuhnya terbaring di atas tempat tidur. Semua kegiatannya harus benar-benar dibantu, dari makan, hingga buang air. Ia tidak lagi menyapa, dan rasanya untuk bicara juga sudah susah. Ia nyaris tidak mengingat saya apabila papa tidak memperkenalkan saya padanya. Dan ketika dia sadar ini cucunya, ia tersenyum, dan kemudian saya menyuapi beliau makan.
Dan 20 November 2011, ia masuk ke rumah sakit. Bahkan sempat kritis. Ia sudah dipasangi berbagai macam alat termasuk masker oksigen dan alat deteksi jantung. Kata mama, nafasnya agak tersengal. Saya baru menjenguknya tanggal 26 November, itu juga karena diajak Papa. Dan kondisi Oma memang sudah ringkih—sangat ringkih. Ia terlelap, namun kadang terbangun. Masker oksigen tak pernah lepas. Bicaranya pun sudah tak jelas, pandangan matanya tak jelas ke mana, dan sudah tidak ingat siapa-siapa mungkin. Sebab ia tidak lagi tersenyum ketika saya datang, saya memegang tangannya, saya nggak sempat mendoakan, karena nggak tega ngeliat Oma :”( ia makan pun harus melalui selang yang ditanam dalam tubuhnya.
27 November, keluarga saya mendapat kabar, Oma tidak bisa menerima makanan lagi. Dari lambungnya keluar cairan entah apa, dan makanannya terdorong keluar. Saya bergidik ngeri membayangkan. 28 November, pukul 8 malam, beliau berpulang. Kepergiannya sempat membuat tidak percaya—sebentar. Mungkin karena saya selalu mendoakan agar yang terjadi padanya adalah kehendak Tuhan dan bukan kehendak kami sekeluarga. Keluarga saya—saya pikir—sudah prepare for the worst, hope for the best. Begitulah kira-kira.
Namun, 29 November, ketika kebaktian tutup peti, dan penghormatan terakhir untuknya diberlakukan, saya menangis. Tante-tante saya menangis lebih keras, lebih histeris memang. Namun saya pun menangis secara spontan. Padahal sebelum-sebelumnya saya Cuma sekali menitikkan air mata, namun ini kontinyu. Saya mengingat terus apa yang sudah ia lakukan dengan saya selama hidupnya. Bahkan kemudian saya teringat pernah berfoto bersamanya waktu ulang tahun saya yang ke-6. Saya mengingat tanda salib yang ia buat, dan apalagi ya... buram pikiran saya oleh derasnya air mata. Nggak lebay, saya sedih. Ini kehilangan yang kedua (di mana saya udah bener ngerti apa itu artinya wafat) setelah Om saya.
Setelah semua kebaktian selesai, dan ketika pelayat sudah sepi, tante saya mengajak kami berempat—saya dan sepupu-sepupu dan adik saya—untuk bicara bersamanya. Kurang lebih begini:
“Kalau emak ada salah sama kalian, kekurangannya tolong dimaafkan.Kalau ada kata-kata yang salah, maklumin. Emak tuh sekolahnya nggak tinggi. Sebenarnya emak nggak bermaksud demikian kok. Emak pengen kalian jadi yang terbaik buat dia. Emak selalu menganggap kalian itu kebanggaan emak.”

Airmata jatuh, makin deras. Oma—saya manggil beliau emak—nggak pernah bilang bahwa kami ini kebanggaannya—rasanya. Ia memang selalu bilang kami anak baik. Tapi saya—yang tiap hari nyanyiin lirik “I’m sorry I can’t be perfect~”—ini jadi kebanggan buat Oma saya. Tante saya melanjutkan:
“Terutama kamu, ci.” Tante mengarahkan omongannya ke saya.
“Kamu cucu yang paling besar, dan kalau emak lagi ngomelin si—tante yang satu lagi—perbandingannya pasti sama kamu.”
Bles. Tambah deras dah. Saya nggak terlalu suka jadi pembanding orang, karena yang dibandingin dengan saya tuh pasti bisa sakit hati, saya pernah ngalamin itu. Tapi—kali ini saya merasa, “Wow. Gue yang blangsakan begini adalah kebanggaan? Yang nggak sempurna ini jadi kebanggaan?”
Lalu diteruskan dengan berdoa di depan peti. Saya menangis. Berdoa sambil menyesali banyaknya hal-hal yang belum saya lakukan untuknya, banyak hal-hal yang ia belum lihat dari saya. Saya menyesal, kenapa saya nggak bisa menemani dia di rumah sakit setiap hari padahal sekolah saya dengan tempat ia dirawat berseberangan, alasan saya adalah jam besuk, padahal saya bisa aja ikut papa saya menjenguk setiap hari. Kenapa saya jarang meluk dan nyium dia sewaktu dia masih ada? Kenapa saya nggak pernah ini, nggak pernah itu, pokoknya banyak perenungan penuh penyesalan deh di rumah duka tadi. Dan banyak hal yang belum ia lihat, ia belum melihat saya menikah (agak lebay, tapi emang ini yang saya pikirin), ia belum melihat saya masuk kuliah, ia belum melihat saya jadi orang yang bisa lebih membanggakan dia lagi.
“Ada yang nggak kesampaian nih cita-cita emak. Emak nggak mau ke dokter waktu itu. Ia nabung supaya pas ulangtahunnya tahun ini, dia bisa ngerayain besar-besaran. Di restoran mana gitu, bareng sama kalian sekeluarga. Tante juga berharap ada keajaiban emak bisa tahan sampai Desember ini aja deh, mau rayain di hotel mana, restoran mana, tante bayarin deh. Tapi ya Tuhan berkehendak lain jadi belum kesampaian.”

Tante saya berujar dan saya tambah kejer. Sebegitu berkorbannyakah? Dengernya nyesek sendiri. Ulangtahunnya sebulan lagi. Dan ia harus pergi menghadap Tuhan sebelum itu. Mungkin Tuhan memberikan dia hadiah lebih indah, sebuah tempat di surga, di mana ia bisa bertemu dengan anaknya (Om saya yang sudah dipanggil lebih dulu oleh-Nya), menjadi hadiah terindah mungkin buatnya.
Banyak perenungan dan penyesalan yang muncul di benak saya. Seandainya begini dan seandainya begitu. Dan semuanya berkelebat cepat di tengah malam ini. Oma, terimakasih sudah menemani selama usia saya 16 tahun 4 bulan ini, terimakasih banyak :”) Terimakasih untuk doanya, untuk setiap kenangan indah, dan maafin ya, saya belum menjadi yang terbaik buat Oma :”) Sampaikan salam saya ke Om ya, saya kangen kalian :’)
Kata-kata tante saya yang menjadi motivasi saya untuk lebih baik lagi adalah:
“Apapun yang terjadi, kalian sudah menjadi kebanggaan buat emak. Walaupun emak udah di surga, kalian tetap harus jadi yang terbaik ya buat Mamy Papy.”

Goodbye, and see you again, Oma Yulia :’)
Cucumu...

No comments:

Post a Comment