3.31.2016

Berbaikan

Postingan ini sifatnya sebagai catatan pengingat dan perenungan untuk diri gue sendiri atau mungkin juga orang lain yang kebetulan membaca...

Gue pernah memiliki masalah dalam hubungan dengan orang-orang terdekat yang gue kasihi. Yah siapa sih yang nggak pernah ribut dengan keluarga, pacar, rekan kerja, atau teman dekatnya? Masalahnya seringkali sepele, salah ucap, salah dan kemudian gagal paham, disulut api emosi, lalu meledak. Gue orangnya mudah tersulut emosinya, ditambah keras kepala dan nggak mau ngaku salah. Makanya setiap kali ada masalah yang terjadi dalam hubungan gue dengan orang-orang terdekat, gue akan bersikeras menyatakan bahwa "Ini loh maksud gue. Pahami dong!" dan walaupun mungkin maksud gue itu salah, gue jarang  ingin mengaku salah.

Suatu kali gue berselisih sama Mamy via BBM karena sebuah masalah yang kalau gue pikir-pikir lagi, itu sangat sepele dan gak ada untungnya diperdebatkan. Dalam masalah ini, jujur gue akui bahwa gue yang salah tapi kejelekan gue seperti yang sudah disebutkan di atas, gue keras kepala dan nggak mau ngaku salah, bersikukuh sama pendapat gue, hingga Mamy marah. Mamy bilang gue ini suka salah paham menilai pendapat orang. Gue nggak terima dan masih nggak mau ngaku. Dengan tidak ikhlas gue meminta maaf. Pokoknya pas itu gue merasa bebal banget deh jadi anak. Gue hanya meminta maaf untuk mendinginkan keadaan, bukan karena gue mengaku gue salah dan menyesali perbuatan gue.

Minggu kemarin gue bertengkar dengan seseorang, masalahnya nggak sepele sebenernya, tapi kalo gue liat, semua berakar dari keras kepalanya gue (gue baru menyadarinya 48 jam kemudian, by the way). Gue tetap aja nggak mau ngaku salah, nggak mau ngaku bahwa akar masalahnya ada pada sifat gue. Gue kembali lagi meminta maaf hanya sekedar untuk mendinginkan keadaan. Parahnya lagi, gue langsung "menodong" solusi untuk masalah yang sedang kami hadapi, di saat sebenarnya gue sendiri tidak tahu apa akar masalahnya. Karena tidak menemui solusi, pembicaraan buntu, relasi kurang baik, perasaan nggak enak, tidur juga nggak nyenyak.

Dua hari setelah perselisihan yang terjadi dengan keadaan yang sepertinya tidak juga membaik, gue membaca sebuah artikel atau encouragement yang gue lupa bersumber dari mana, intinya adalah bahwa terkadang kata-kata "Maafkan saya..." tidak lebih ampuh daripada "Saya mengakui kesalahan saya, bahwa saya..." ketika kita ingin dimaafkan oleh seseorang. Gue tertegur dengan kata-kata ini sih. Gue kembali berpikir, di saat-saat gue berselisih dengan Papy, Mamy, atau partner gue, gue terlebih dahulu memohon maaf tapi enggan mengaku salah. Main aman. Padahal mungkin mereka akan lebih lega dan gue juga mungkin akan lebih lega ketika gue mengakui kesalahan, baru kemudian meminta maaf. Buat gue, mengakui kesalahan berarti kita menyadari peran kita dalam konflik tersebut dan kita mengetahui dengan jelas alasan kita meminta maaf, bukan minta maaf yang sekedar basa-basi, tentu saja.

Setelah itu, gue kembali teringat akan perkataan Bapak Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life yang berbicara tentang bagaimana memulihkan hubungan yang retak. Ia mengatakan bahwa: 

Pengakuan merupakan alat yang penuh kuasa untuk rekonsiliasi. Seringkali cara kita menangani sebuah konflik malah menimbulkan luka yang lebih besar daripada masalah awalnya itu sendiri. (Warren, 2002: 175-176)
...dengan jujur akui saja setiap peran yang Anda mainkan dalam konflik tersebut. Terima tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Anda dan mintalah pengampunan. (Warren, 2002: 176)
Sebenarnya, Bapak Rick menuliskan beberapa langkah namun yang paling gue ingat ada dua, dan salah satunya adalah yang telah gue kutip di atas. Mengakui kesalahan menjadi faktor untuk kita dapat memulihkan sebuah hubungan karena dengan mengakui kesalahan, kita tahu bagian mana dari diri kita yang perlu diperbaiki. Lagi, perkataan yang menegur gue dari buku ini adalah:
Utamakan rekonsiliasi, bukan resolusi... Rekonsiliasi mengutamakan hubungan, sementara resolusi mengutamakan masalah. Bila kita mengutamakan rekonsiliasi, masalah akan kehilangan maknanya dan seringkali menjadi tidak relevan. (ibid, hlm. 177)
Wah, tentu saja gue tertampar. Berapa sering gue tidak mementingkan rekonsiliasi demi memperjuangkan orang untuk setuju dengan pendapat gue? Berapa sering gue mencari solusi tapi nggak mementingkan rekonsiliasi karena gue hanya berpikir agar keinginan gue saja yang dipenuhi!

Setelah gue pikir dan pikir, ya benar juga, gue tidak mengaku salah pada saat seharusnya gue mengaku salah. Mungkin saja kegengsian gue dalam mengakui kelemahan telah menyebabkan banyak orang terluka dalam perselisihan dengan gue. Bahkan mungkin hal ini menyebabkan gue tidak bisa memulihkan hubungan lagi dengan orang-orang terkasih gue. Akhirnya, gue memutuskan untuk mengakui kelemahan gue, memohon ampun karena gue ini orangnya batu, dan ya... gue berharap bisa berkata bahwa gue sudah berekonsiliasi dengan orang tersebut.

and I thank You, Lord for reminding this
and I thank my Mom and my Dad for bearing with their stubborn daughter and forgiving her even after all of the worthless fighting
and I thank you for telling me the truth even if it hurt (my pride) but I know that the best thing for me is to acknowledge and repent.


3.27.2016

in order for a star to shine
another star must sacrifice itself
another star must die

i don't know if now i'm going to sacrifice myself
in order for you to shine brighter than sunshine

3.20.2016

Gu.

kita tak perlu bertanya kenapa
dan mungkin tidak perlu lagi menjelaskan apa-apa
mungkin kita sudah saling tahu
atau masih asing tapi malah tak mau cari tahu

3.03.2016

Salah Fokus

Akhir-akhir ini, gue merasa bahwa banyak rintangan yang gue hadapi, membuat gue pada akhirnya menjadi malas untuk mencapai tujuan-tujuan dan goals yang sudah gue set sendiri. Ada beberapa goals yang harusnya bisa gue capai tahun ini, tapi karena udah keburu takut duluan sama rintangannya, gue mundur dari usaha untuk mencapai tujuan tersebut.

And here comes His words to me...

Gue tertampar (untuk yang kesekian kalinya). Perikopnya adalah Bilangan 14:1-9. Bangsa Israel bersungut-sungut saat mengetahui bahwa mencapai tujuan mereka, negeri yang dijanjikan Tuhan, ternyata tidak semudah itu diraih. Secara, bangsa yang mendiami negeri tersebut orangnya kuat-kuat, kotanya berkubu-kubu dan sangat besar, lebih kuat dari Bangsa Israel (Bilangan 13:28, 31). Kabar dari pengintai-pengintai negeri tersebut membuat Bangsa Israel pada akhirnya bersungut-sungut minta pulang lagi ke Mesir. Selain minta pulang, Bangsa Israel bahkan mempertanyakan kenapa Tuhan membawa mereka keluar dari Mesir hanya untuk tewas dan jadi tawanan, lantas mulailah mereka ide, bahwa lebih baik mereka tinggal di Mesir daripada lenyap dibinasakan bangsa lain. Rintangan membuat Bangsa Israel ingin menyerah aja untuk meraih apa yang sudah dijanjikan Tuhan.

Tapi, adalah Yosua bin Nun dan Kaleb bin Yefune yang mencoba meyakinkan Bangsa Israel.
...dan berkata kepada segenap umat Israel: "Negeri yang kami lalui untuk diintai itu adalah luar biasa baiknya. Jika TUHAN berkenan kepada kita, maka Ia akan membawa kita masuk ke negeri itu dan akan memberikannya pada kita, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. (Bilangan 14:7-8)
Selain meyakinkan Bangsa Israel soal negeri tersebut, mereka berdua juga mengingatkan apa yang perlu umat Israel lakukan:
Hanya, janganlah memberontak kepada Tuhan, dan janganlah takut kepada bangsa negeri itu, sebab mereka akan kita telan habis. Yang melindungi mereka sudah meninggalkan mereka, sedang TUHAN menyertai kita; janganlah takut kepada mereka." (Bilangan 14:9)
Wow.

Seringkali gue bersikap seperti kesepuluh pengintai dan Bangsa Israel. Contohnya seperti yang sudah gue sebutkan di atas, ketika gue memiliki sebuah tujuan yang ingin gue capai. Gue sudah keburu menyerah ketika melihat rintangan-rintangan di depan mata yang akan gue hadapi atau ketika gue sedang dalam proses untuk mencapai tujuan tersebut, adanya rintangan yang gue hadapi membuat gue putus asa, kecewa, dan akhirnya gue membuang tujuan itu. Kemudian gue kembali berjalan tak tentu arah. Gue menyerah bahkan sebelum mulai usaha. Ya, Bangsa Israel belum memulai usahanya untuk menduduki negeri tersebut, tapi sudah keburu nyerah karena mendengar berita soal lawan mereka. Kata-kata Yosua dan Kaleb di sini meyakinkan Bangsa Israel saat itu tentang SIAPA yang menyertai dan bukan APA yang merintangi mereka.

Fokus kita dalam kehidupan ini seringkali lebih  pada kesulitan yang kita hadapi sehingga pada akhirnya kita lupa apa sesungguhnya tujuan kita dan siapa sesungguhnya yang mampu dan berkuasa menyertai kita. Salah fokus. Yep. Kesalahan dalam meletakkan fokus kita berdampak pada motivasi kita mengusahakan suatu hal. Kalau kita fokusnya sama kesusahan, kita lebih gampang terdemotivasi. Akhirnya ya itu, seperti gue, melupakan tujuan, melepas begitu saja kesempatan yang mungkin sebenarnya sudah Tuhan sediakan buat gue.

Dari Firman Tuhan hari ini gue kembali belajar dan diingatkan pentingnya membetulkan fokus gue yang kadang-kadang salah. Harusnya kita meletakkan fokus pada SIAPA yang menyertai kita. Ketika kita kembali meletakkan fokus kita pada kuasaNya, pada kemampuanNya, pada kekuatanNya, pada kebaikanNya untuk kita, pada kasihNya, kita akan lebih termotivasi dibandingkan terdemotivasi.

Satu pesan lagi di sini yang gue dapatkan adalah tentang tunduk dan taat. Tidak memberontak sama Dia. Gue berpikir bahwa Yosua dan Kaleb adalah dua orang yang tetap tunduk, taat, nurut, dan percaya sama apa yang Tuhan katakan, bahkan ketika situasinya pada saat itu rasanya mengecilkan hati kawan-kawan mereka pengintai yang lain. Kata Bapak Rick Warren dalam buku The Purpose Driven Life, ketaatan membuka kuasa Allah. Gue menyimpulkan bahwa tunduk dan taat adalah hal yang juga penting untuk membuat kita kembali fokus sama Dia dan meyakini penyertaan dan kuasaNya dalam setiap rintangan yang kita hadapi untuk mencapai sebuah tujuan.

Akhir kata, it's not about me and my problems. It's all about my God, obedience, His purpose and His power.

Fokuslah pada SIAPA yang menyertai dan bukan pada APA yang merintangi.

Nighty night.