Showing posts with label thought. Show all posts
Showing posts with label thought. Show all posts

11.13.2018

(Maybe) I Just Want to be Happy


Last weekend, I went to Solo to attend my cousin's wedding. We used to play together a lot every time we went to our grandparent's home for the school break. I remember I used to fight a lot with her brother, we used to go to a reservoir nearby to just look at how calm the water was or... simply walking here and there, chit-chatting, playing... I recalled those memories when I saw the girl I used to play with now become someone's nyonya. Back then, happiness was that simple, we only need to play together.

When I was on the way to the airport (in Solo), I saw some families bring their children to watch the airplane from the roadside. Some of them looked excited and even took photos with their phone. I thought... happiness was that simple. Arriving at the airport and waiting for the plane, I recalled my childhood memories. My father used to take me to Gambir Train Station almost every weekend. Back then, we can go to the platform without buying train ticket, we only need to buy platform ticket which was very cheap (around 1.500 rupiah, if I'm not mistaken). My father would take me to eat at a fast food restaurant sometimes, but most of the times, he took me to see trains arriving and departing. And just it. After that we went home, but I was excited and happy. Maybe, that's why until now, I like to visit train station and even boarding the train.

As I grow older every day, happiness is complicated and sometimes it cost you to lost something else in exchange for a glimpse of it. I don't know why I feel complicated lately.Seeing things, hearing things... and trying my best not to say something about it. I end up bottled everything to myself and sometimes, I cried before I go to sleep. For months, I got sick multiple times. Some of my friends told me not to think about everything, to tell everything... to help me to release the burden. But I can't. I don't know where to start, and if I start, I am afraid I end up messing everything. Therefore, I choose to keep it to myself. Someone did ask me what I am thinking about, but I only said I have many things going around in my head. Someone did ask me to tell, but I end up telling just one or two, the smallest, because I just don't like to be a burden for another. I am not sure that particular someone can help anyway.

And this night, when I realized tomorrow I need to go back, I asked myself, "What do you want?" and a simple answer popped up, "Maybe, I just want to be happy."


back then, I was happy.

11.10.2017

What to Do When It's Hard...




Few days ago, I felt like I had no appetite to even calling upon the name of the Lord. Nor having appetite to pray or read the Bible. There were some things in my mind that made me down, also made me wondering His kindness.

Have you ever feel the same way like I did?

That time, a song popped out in my mind.
Even when my strength is lost, I'll praise YouEven when I have no song, I'll praise YouEven when it's hard to find the words, louder than I'll sing Your praise.
The moment when I remembered it, I started to call upon Him. It was hard, I was going to cry. But just like the lyric stated, "I'll praise You... louder than I'll sing Your praise."

Living as a human nowadays isn't about our feeling. For example, when we feel like we don't want to read our Bible, or when we feel like it's hard to pray, we give up on our reading and not praying. No. Most of the times, our feeling is wrong. It is all about faith. About how you believe that even when it's hard, He is near. Believe in Him is what we need to finally can say, "Even when it hurts, I'll praise You."

"Though the fig tree may not blossom,
Nor fruit be on the vines;
Though the labor of the olive may fail,
And the fields yield no food;
Though the flock may be cut off from the fold,
And there be no herd in the stalls--
Yet I will rejoice in the LORD,
I will joy in the God of my salvation.

The LORD God is my strength;
He will make my feet like deer's feet,
And He will make me walk on my high hills.

(Habakkuk 3:17-19 NKJV)

9.14.2017

Cuti

So, I've been considering to take some rest from social media, in my case, Instagram.

Istirahat dari media sosial gue rasa cukup diperlukan. Ada beberapa kali gue buka explore di Instagram dan tanpa sadar menghabiskan waktu tiga jam lebih untuk melihat kehidupan orang lain. Apalagi kalo pagi, kadang gak sadar, bangun langsung ambil hp, buka Instagram. Hal lain yang gue sadari ketika berselancar cukup lama di Instagram adalah... gue mulai tidak puas dan mencari cara bagaimana supaya feed gue rapi, supaya foto gue terkesan estetik, supaya foto gue banyak yang likes (really, I was once thinking about it). Gue mulai membandingkan kehidupan dengan orang lain.

Selain itu, gue tetap aja membuka Instastory di Instagram yang kadang gue pikir gak penting juga buat dilihat semua.

Intinya, pada satu poin gue merasa semua ini kurang baik. Waktu tidur gue kurang, kadang kerja aja masih bisa buka Instagram. Waktu yang begitu mahal dan gak bisa balik, harusnya gue alokasikan ke hal lain yang lebih berguna. Dan... jadi mencari pujian orang lain.

"Ah itu mah elo aja yang gak bisa ngontrol diri, Le."

Mungkin begitu.

Makanya gue sempat beberapa kali menon-aktifkan akun Instagram (dan tidak berlangsung lama). Sempat juga meng-uninstall Instagram dari ponsel untuk meminimalisir godaan cek-cek.

Tapi ya kembali lagi, ada kalanya gue perlu Instagram untuk mengetahui informasi tentang teman-teman dan kenalan.

Terlepas dari gak bisa kontrol diri, gue mungkin tetap ngecek Instagram via desktop, dengan harapan meminimalisir godaan mengecek hal-hal lainnya. Well, semoga gue dapat menggunakan waktu gue untuk hal lain yang lebih penting.

7.24.2017

'Remeh-Receh' Thing

I've once wrote this sentence in my timeline few months ago:
"God is working even in the small-remeh-receh-thing."
Kata receh semakin sering digunakan oleh orang-orang, namun penggunaannya mengalami pergeseran makna. Awalnya receh sering disebutkan ketika bicara tentang uang, namun sekarang masalah dan bercandaan ditambahkan kata receh di belakangnya untuk mengungkapkan kecilnya suatu hal.

Baiklah, di sini saya nggak membahas tentang pergeseran makna receh itu.

Ya, beberapa bulan lalu, saat menulis status demikian, saya dalam kondisi finansial yang memprihatinkan, sampai rasanya nggak mungkin bisa bertahan sampai tanggal gajian lagi tanpa pinjam uang dari orang tua :| Kondisinya sudah cukup memusingkan waktu itu.

Kemudian, tiba-tiba saya mendapat kontak dari seorang klien yang sudah cukup lama (sekitar 2-4 bulan) tidak ada kontak. Beliau kembali meminta tolong untuk menerjemahkan dokumen. Wow. Waktu itu saya benar-benar mengalami bahwa Tuhan memang luar biasa tahu kebutuhan anak-anakNya. So, praise the Lord! πŸ˜ŠπŸ˜ƒ

Another time... 

Ini terjadi waktu saya masih kuliah. Sistem perpustakaan di kampus mencatat bahwa saya belum mengembalikan sebuah buku Bahasa Korea yang pernah saya pinjam, padahal sudah saya kembalikan sejak seminggu sebelumnya. Lantas, saya disuruh petugas perpustakaan mencari buku tersebut di raknya untuk diproses kembali. Kurang beruntungnya, entah bagaimana buku itu belum ada di rak, di bagian sirkulasi pun tak ada, buku itu menghilang secara misterius, dan saya nyaris disuruh mengganti buku tersebut karena ketiadaannya. Waktu itu saya sempat kesal 😞 merasa ini bukan salah saya, kenapa harus saya yang ganti? Info aja, bukunya buku impor yang cari di toko buku lokal pun nggak ada, pas saya lihat di situs belanja online, harganya cukup untuk cetak hardcover skripsi saya kemarin dan belum termasuk ongkir dari Korea :")

Minggu demi minggu, saya dengan setia ke perpustakaan untuk mengecek status buku siluman tersebut. Hingga pada akhirnya, ketika sudah putus asa, saya sudah berniat pre-order buku tersebut, di akhir semester, saya iseng mengecek status peminjaman buku saya.

JENG JENG!

Status peminjaman buku saya, yang tadinya masih tercatat judul buku siluman itu, tiba-tiba sudah bersih begitu saja. Yeay! Berarti saya gak kena denda dan saya gak harus mengganti buku tersebut :") Bersamaan dengan itu, saya juga dapat kabar dari situs belanja online tempat saya memesan, bahwa buku tersebut sudah tidak diproduksi lagi sehingga pesanan saya tidak bisa diproses. Entah ini kebetulan atau bagaimana. Tapi, waktu itu saya merasa amazed sekali hahaha...

Yang paling baru...

adalah kasus limitasi akun PayPal saya.

Entah bagaimana akun PayPal saya terkena limit sehingga saya terancam tidak bisa menarik uang yang ada di dalamnya. This is a bad thing karena jumlah uangnya cukup besar dan statusnya masih ditahan. Fyi, kebodohan saya di sini adalah mencoba memverifikasi akun dengan menggunakan kartu kredit virual alias VCN. Saya sangat-sangat-sangat tidak merekomendasikan bagi teman-teman untuk melakukan hal ini. Beneran, kalau udah kena problem, ribet banget.

Akhirnya, saya mencoba mengirim email ke PayPal, curhat kenapa akun saya kena limit, kenapa saya nggak bisa memverifikasi kartu yang saya masukkan. Dan karena saya nggak sabaran, saya dengan impulsif membeli paket telepon keluar negeri (pusat kontak PayPal pakai nomor Singapura, btw) dan menelpon PayPal. Setelah curhat ternyata ada data yang salah saya masukkan dan mereka mau data tersebut dikirim ulang, baru bisa diproses kemudian. Oke, baiklah. Akhirnya saya membereskan data tersebut. Kemudian saya dapat kabar lagi melalui email kalo bank yang menerbitkan kartu (VCC) yang saya masukkan ke PayPal kemungkinan tidak mengotorisasi PayPal untuk membayar atau gimana... akhirnya telepon ke Bank BNI dan kembali curhat lagi soal VCN, dan kembali mbaknya bilang VCN memang tidak dianjurkan untuk digunakan di PayPal 😐 dan solusi satu-satunya adalah memohon PayPal memberikan solusi bagi masalah ini.

Sebenarnya, saya agak takut juga mengakui saya memakai VCC untuk PayPal karena ini mainannya uang dan saya takut disangka melakukan fraud (sejenis penipuan?) karena pake VCC untuk PayPal. Tapi, demi masalah selesai, akhirnya terpaksa kirim email, mengakui pakai VCC dan kemudian pasrah mau bagaimana solusinya.

Dan secara tiba-tiba, beberapa hari yang lalu, perwakilan PayPal di Indonesia menelpon, mencoba mendengarkan masalah, kemudian ia mengatakan bahwa saya akan dihubungi dari Malaysia atau Singapura dari bagian yang menangani limitasi akun. Agak lega, gak perlu nelpon ke sana hehe... Dan lega juga, nggak disangka melakukan penipuan karena pakai VCC haha...

Akhirnya sebuah nomor dari Malaysia menelpon sehari setelahnya, mereka mengatakan limitasi akun akan dicabut dengan menghapus VCC dalam akun tersebut. Saya lega luar biasa :") Another problem solved. Paketan telepon keluar negeri yang sudah saya beli akhirnya nggak terpakai :") (karena pas nelpon ke SG yang pertama kali lupa pakai kode sambungan jarak jauh, sehingga pulsa yang kepotong *kebodohan lagi*). Paketan itu akhirnya saya gunakan buat kontakan sama teman yang lagi belajar di Korea :") malah bisa kepake buat pelayanan :")

Ceritanya panjang dan berbelit ya? Hahaha...

Kemarin saya memikirkan tentang beberapa orang yang saya kenal, mereka punya kesempatan untuk belajar ke luar negeri secara gratis, ikut ini itu, ke mana-mana... tapi saya masih di sini-sini aja. Saat saya berpikir, "God, why don't You send me there? God, why don't I get the same chance to do that?"
But I realized maybe God bless me in this kind of small-remeh-receh thing, dalam kejadian-kejadian yang sudah gue ceritakan di atas. Mungkin buat beberapa orang, hal-hal itu receh banget, tapi buat gue, this is how He shows His love and inclusion.
From time to time, we may think that God only works in grandeur things, in things that look so grand and big, but now we know, He cares and works even for the smallest thing.
May this strengthened you as much as it has strengthened me.

7.09.2017

Bagi Nikmat


Long time no blog.
Padahal akhir-akhir ini sedang memiliki banyak perkara untuk dibagikan, tapi seringkali tertunda dan berujung jadi draf dalam otak. Kemudian pas buka blogspot, lupa mau nulis apa. Dengdeng.

Ya. Tema hari ini adalah berbagi. Kita mulai dengan beberapa hal sederhana di bawah ini.

"Eh, lo udah ke Gunung Bromo? Wah lo harus ke sana, bagus banget pemandangan matahari terbitnya."

atau,

"Kamu udah dengerin lagu barunya Coldplay? Mantaph jiwa."

lagi,

"Udah cobain ayam geprek yang lagi hits? Astaga, gue makan level sekian sampe jontor, tetap nikmat."

Kata-kata di atas tanpa sadar menjadi sebuah pembagian kenikmatan atau pengalaman yang dirasakan oleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Kita gampang banget berbicara mengenai hal-hal yang kita sukai kepada orang-orang di sekeliling kita, tujuannya adalah supaya mereka dapat menikmati hal yang sama juga. Supaya kita pada akhirnya punya sesuatu yang sama untuk dibicarakan.

Lalu, kalau kau nikmati kasih Tuhanmu, sudahkah kau bagikan pada orang sekitarmu? Eng... gimana yah... jujur pertanyaan ini menjadi salah satu hal yang menusuk juga pada gue. Jumat kemarin, saat mengikuti persekutuan alumni, pembawa berita mengatakan, "Kita selalu mudah untuk berbicara akan hal-hal lain tetapi begitu mudah menahan pemberitaan Firman Tuhan."

Nah lho.

Kita punya beragam ketakutan, takut ditolak, takut gak pandai berkata-kata, takut dibilang sok suci, dan takut takut takut lainnya yang membuat kita enggan, seenggan-enggannya memberitakan kebenaran. Padahal, kita lagi menikmati kebenaran itu. Kebenaran akan keselamatan, kebenaran akan diangkatnya kita jadi anak-anak Allah, kebenaran akan kasihNya yang buat orang biasa bakal terkesan bodoh tapi buat orang yang percaya terkesan super duper luar biasa, dan kebenaran bahwa kita telah dibebaskan untuk jadi pemenang-pemenangNya.

Ini adalah kenikmatan yang menurut gue luar biasa banget. Kalau kita menikmati sesuatu, bukankah kita juga ingin membagikannya pada orang sekitar kita? Semakin nikmat, harusnya semakin ingin kita bagikan. Ya tak?

Semoga seluruh waktu yang kita miliki, jadi waktu untuk membicarakan Kristus.


Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu.
(Kisah Para Rasul 20:27)

12.07.2016

Crazy Little Thing Called Love

Akhir-akhir ini gue agak malas membuka media sosial. Sebagian besar orang mungkin punya kemalasan yang sama setelah adanya beragam kemelut yang banyak di-posting orang. Banyak pula posting yang isinya menyebarkan perbedaan prinsip kemudian berujung membangkitkan amarah pihak-pihak tertentu. Gue termasuk pihak yang jujur saja sempat tersulut kemarahan. Sempat, karena setelah gue melihat banyak sisi dan mendengar pendapat berbagai orang, gue merasa kemarahan bukanlah opsi yang tepat untuk menanggapi beragam hal yang terjadi akhir-akhir ini.

Tapi pagi ini, gue membaca satu bagian Firman Tuhan yang menusuk sekali. Rasanya kemarahan gue semacam ditumbuk-tumbuk (?) ketika baca ini:
Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. (1 Yohanes 4:19 TB)
Wow. Kita mengasihi bukan karena orang yang kita kasihi baik sama kita. Kita mengasihi bukan karena orang yang kita kasihi itu kenal sama kita. Tapi kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Kita baru bisa mengasihi ketika Allah itu tinggal berhuni di dalam kita. Kita mengasihi sebagai wujud dari Dia yang tinggal dalam kita, Dia yang lebih dahulu mengasihi kita. Dengan kasih, Allah mau supaya anak-anakNya memancarkan Dia, Dia yang kasih. Pada siapa? Pada siapa saja. Bahkan pada orang-orang yang kita pikir nggak berhak menerima kasih, entah karena menyakiti hati kita, atau karena menganiaya kita.

Dengan kasih, kita menutupi banyak sekali pelanggaran. Bukan berarti ada sebuah kesalahan kemudian kita tutupi. Tapi kita dapat mengampuni dengan kasih. Sumber segala kemarahan dan kekecewaan kita itu seringkali berasal dari ketidak mampuan kita untuk mengampuni. Kasih membuat kita dimampukan, diberikan kemauan untuk mengampuni, walaupun kelihatannya sulit. Tapi kasih selalu punya cara.

Di tengah-tengah situasi saat ini, sulit pasti untuk menunjukkan kasih lewat kebaikan pada orang-orang, tapi ketika apa yang dilakukan based on love, selalu ada cara untuk menunjukkan kebaikan tersebut pada orang lain. Gak sekedar sama orang yang kita kenal, gak sekedar sama saudara seiman, tapi bahkan pada orang yang bukan seiman pun.

Kemarahan gak akan menyelesaikan suatu masalah. Kemarahan hanya akan membangkitkan amarah yang lainnya. Tetapi satu hal bernama kasih, sanggup buat meredakan amarah, sanggup untuk terus memancarkan kebaikan, selalu punya cara untuk memancarkan Dia dan semua hal yang baik dan benar...

I think, this is why people said, "Crazy little thing called love." Because love can make you forgive what others say can't, love can make you do everything others say can't. That's how crazy love is. 

And my God, is The Love itself. 

11.19.2016


After discussing about boy-girls-romantic relationship with one of my friend, I came to this conclusion... well, it might be different with what everyone else thinking about, but... this is what I've got.
The biggest temptation in a romantic relationship is not distance, it's lust.

11.08.2016

Love Without Benefit(s)


Few days ago, my friend told me she found a quote and for me, it's an interesting one. This quote goes on like this: "If a man doesn't want a relationship, don't give him relationship benefits."

Sounds right.

Wait--but, what kind of benefits a relationship can provide you with? Assurance? Security? Affection? The feeling of  being wanted? I think everyone has different perception on this thing called relationship benefits.

Jujur saja, ketika teman gue mengatakan kutipan tersebut, gue seketika langsung mengingat produk asuransi, produk perbankan, dan segala hal yang berbicara tentang "jika Anda menjadi nasabah kami, Anda akan menikmati manfaat ini itu itu ini..." dan kemudian kita akan memilih bank atau asuransi mana yang memiliki manfaat yang kita pikir paling baik dan sesuai dengan yang kita butuhkan.

Apakah sebuah hubungan bekerja dengan cara demikian? Gue yakin setiap orang punya pendapat yang berbeda lagi tentang hal ini.

Well, I don't want to talk about this so-called relationship benefits and its correlation with boys-girls relationship or I will at the end of this post.

Satu hal lain yang gue pikirkan adalah apakah ketika mencintai kita, Tuhan mempertanyakan "Apa manfaat yang bisa Saya dapatkan dari menjalin hubungan dengan kamu?"

Seringkali aja gue bukannya "memberikan manfaat" buat Dia, tapi justru mengecewakanNya dengan berbagai hal.

But still, His love remains. And it never fails. Sometimes I think that probably He is ready with all the consequences when He decided to show His love to this world by coming as a human. He probably always ready to love without expecting benefits. The question is... do we as ready as He is to love without expecting benefits?

Before I posted this online, I asked some of my friends regarding their opinion about this. Some of them thought benefits are important to a relationship and one of them said to me "Honestly, we must have this unconditional love. To love without seeking benefits. But, still, people live and seek for it because we still want to fulfill what we need and what we want."

I pondered and talked to myself, "Probably, benefits are what we provided automatically when we love others."

Well this is just me blabbering over a quote and pouring what I've been pondering about.


10.08.2016

Heart Like Yours


Gue menonton film If I Stay sekitar satu tahun yang lalu. Sebagian besar orang-orang yang sudah menonton film ini bilang, "Sedih banget filmnya," atau "Gue banjir air mata nonton film ini!". Meanwhile, gue nonton itu dengan muka datar. Sedih sih, tapi bukan tipikal film yang bisa bikin air mata gue bercucuran seperti gue nonton Miracle in Cell No.7 (still the saddest movie I've ever watched! Recommended!)

Gue pikir konflik cerita If I Stay dimulai dari sebuah kecelakaan yang melibatkan seorang gadis bernama Mia Hall dan keluarganya. Ayah, ibu, dan adiknya Mia meninggal dalam kecelakaan tersebut dan Mia mengalami koma. Ketika dia koma, rohnya keluar dari tubuhnya dan ceritanya berlanjut dengan bagaimana ia melihat situasi keluarganya yang lain pada saat itu, kekasihnya, kehidupan masa lalunya, dan berbagai cerita lain. Gue mendapatkan pesan dari film ini adalah untuk menghidupi hidup sebaik-baiknya, mengasihi secinta-cintanya, melakukan passion se-passionate-passionate-nya (I don't know if I use the right term or not lol) karena tidak ada yang tahu kapan sewaktu-waktu kita bisa meninggalkan dunia ini.

Satu hal yang gue suka dari film ini adalah soundtrack-nya! Lagu mellow yang dipilih menjadi soundtrack untuk film ini bener-bener mantap. Nadanya easy-listening, mellow (terutama ketika didengerin pas hujan seperti hari ini #yash), dan liriknya sederhana tapi mengundang tanya yang mendalam (I don't even know what I've said lol). Soundtrack dari Willamette Stone yang berjudul Heart Like Yours adalah lagu yang paling berkesan buat gue, walaupun gue nggak terlalu suka-suka amat sama filmnya.


The lyric goes on like this:
Breathe deep, breathe clear
Know that I'm here
Know that I'm here
Waiting
Stay strong, stay gold
You don't have to fear
You don't have to fear
Waiting 
I'll see you soon
I'll see you soon 
How could a heart like yours
Ever love a heart like mine

How could I live before?
How could I have been so blind? 
You opened up my eyes
You opened up my eyes 
Itulah potongan lirik-liriknya. Bagian yang gue highlight adalah bagian yang membuat gue berpikir. Lagu ini memang lagu sekuler, tapi gue juga kepikiran satu hal rohani ketika mendengar lagu ini. Ketika gue dihadapkan pada lirik yang bertanya, "How could a heart like yours ever love a heart like mine?" gue teringat akan hati Bapa. Bagaimana bisa hati Bapa mencintai gue yang penuh keberdosaan ini? Bapa punya hati yang mengampuni dan terus rindu buat bersekutu sama anak-anakNya padahal seringkali gue mengecewakan hatiNya dan menyia-nyiakan kasihNya.
Come close my dear
You don't have to fear

...
Hold fast hope
All your love is all I've ever known
Sepenggal lirik di atas juga adalah bagian dari lagu Heart Like Yours. Sore ini gue kembali mengamati bagian ini. Bapa nggak menolaj kita untuk datang padaNya. Just like the lyric, "come close my dear", gue percaya bahwa Dia selalu mengundang kita buat kembali datang padaNya dan merasakan kasih itu. Kasih Bapa adalah satu-satunya harapan pasti yang akan mampu membuat kita berjalan melewati apapun.

Kesimpulannya, Heart Like Yours mengingatkan gue bahwa hati gue yang tidak pantas untuk dicintai oleh Bapa justru dicintai dan begitu dihargai olehNya dan undangan dariNya adalah untuk gue tidak takut datang mendekat padaNya (Ibrani 4:16). Amen.

---

Thank you to Wikipedia which has provided me with the information about "If I Stay", Genius.com for the lyric of "Heart Like Yours", IMDB.com for the theatrical poster of "If I Stay", and WaterTower Music (Youtube channel) for the video of "Heart like Yours"

10.06.2016

Bukan Promosi Film

He said, "Nih, biasa cewek kan suka nyimpen tiket nonton."
I like it when you talk to me about the rig or oil drilling.
I like it when you talk to me about wielding
I like it when you talk to me about engineering.
I like it when you talk to me about random things.
Being with you makes me learning.
.
.
.
Suatu hari, saat kami pergi nonton. dia melontarkan sebuah kalimat.
"Kenapa cewek suka banget nyimpen dan fotoin tiket nonton, sih?"
"Hahaha... iya ya... kenapa ya? Aku gak terlalu sering begitu kok."
Gue menjawab demikian. Akan tetapi, setelah kemarin menonton film bersamanya, gue kepikiran jawaban dari pertanyaan ini sembari mengingat tiket nonton yang gue simpan.

Gue masih menyimpan tiket nonton film Jurassic World tanggal 12 Juni 2015 di dompet gue. Cerita yang ada di balik tiket itu punya kesan tersendiri buat gue karena itu adalah film pertama yang kami tonton bersama. Setiap melihat tiket itu, gue akan kembali ingat seseorang pernah ngajak gue nonton film bareng selepas minggu ujian akhir kami selesai. Gue akan kembali ingat bahwa gue gak mau nonton film itu awalnya tapi gue mau karena dia yang ajak (eh? haha... bercanda).

Kemudian, tiket yang fotonya gue sertakan di atas.

Nonton film yang direncanakan sangat mendadak. Seinget gue, alasan dia ngajak nonton itu adalah supaya gue mengetahui dunia perteknik minyakan (?) intinya sih mengetahui soal kegiatan pengeboran minyak. Karena gue suka film-film demikian yang perlu sedikit mikir dan banyak aksinya, ya gue ayo aja. Kemudian, dia menjelaskan satu dua tiga beberapa hal tentang apa yang dia pelajari waktu kuliah dulu. Soal teknik dan juga mekanik. Gue pun iseng nanya soal pengelasan pipa bawah laut yang mana gue nggak ngerti bagaimana cara eksekusi pengelasan bisa dilakukan literally di bawah air karena las kan pake api? (I swear, logika gue soal pengelasan itu cetek banget dan gue baru tau kalo ternyata las nggak hanya bisa pake api aja -___-)

Gue gak cuma nonton film di atas itu untuk hiburan melepas penat sepulang kerja. Diam-diam, gue juga belajar, dan gue suka mengetahui hal-hal baru yang berseberangan banget sama gue. Karena itu, gue foto tiketnya, karena ada cerita di dalamnya yang mungkin buat beberapa orang mikir, "Yaelah Le, cuma dua lembar tiket yang bakal pudar tulisannya lo foto-foto?"
But for me, there is a story behind it :) Selain itu, nonton film yang kami lakukan kemarin itu membuat gue menyadari beberapa hal, yang sudah gue tuliskan pada bait pertama tulisan ini haha...

Gue memang tidak selalu memotret tiket film yang gue tonton (biar kekinian). Tapi mungkin, beberapa tiket nonton punya ceritanya masing-masing sehingga banyak orang yang kadang memotret tiket tersebut dan kemudian memperlihatkannya melalui media sosial mereka. Sebagai sebuah pengingat ada kisah di balik tiap tiketnya #haleh

9.28.2016

Tentang Dia, Tentang Mereka

Gue merasa amazed dengan kehidupan ini terkadang. Bulan lalu saat wisuda, gue ketemu dengan temen masa sekolah yang kuliah di tempat lain dan pertemuan kami benar-benar tanpa disengaja. Minggu lalu, gue mendapat kabar seorang teman SMA gue akan menikah minggu ini, orang yang paling nggak gue sangka-sangka juga. Terakhir, malam ini, gue kembali kaget mendengar kabar tentang teman SMA gue yang pernah duduk di depan gue.

Gue pernah juga menceritakan dia di sini. Dia adalah si A. Malam ini, gue menerima chat dari teman gue, G. Dia menyebut-nyebut nama si A. Gue pikir apakah si G sedang sama si A, dan A membajak ponselnya? Kemudian G menyebut, "A meninggal, Le."

Gue kicep.

"Yang bener?"

Pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut gue.

Usut punya usut, cari punya cari, kabar tersebut benar demikian adanya. Kecelakaan. Gue semakin kicep. Sebenarnya, niat gue malam ini adalah membuat conference chat dengan teman-teman, gue termasuk G, I, A, dan An. Mau ngajak mereka untuk bareng pergi ke pernikahan seorang teman SMA gue, si B. Apalagi gue dan si An baru berkomunikasi untuk ngajak si A pergi juga.

Tapi ternyata takdir memang harus berkata lain.

Gue dan A ini termasuk akrab saat SMA. Ketawa bareng, nangis bareng, mengenang cinta yang lama bareng, cerita-cerita dari yang paling bikin ngakak, paling bikin nangis, paling bikin kicep, pernah kita bagi bareng-bareng. A adalah orang yang memeluk gue dan yang gue suka dari si A adalah dia orang yang gak pernah milih-milih temen sehingga gue nyaman aja berkawan sama dia.

Kita terakhir kali makan bareng itu tahun 2012, awal kuliah. Sampai saat ini, gue dan A tidak pernah bertemu lagi. Chatting pun jarang. Gue inget, suatu hari si A pernah telepon pagi-pagi. Intinya ngajak gue cabut karena dia lagi males. Permintaan itu nggak bisa gue sanggupi karena siangnya gue ada kuliah dan harus siap-siap dari pagi. Gue memintanya main aja ke UI, Depok. Tapi toh hal itu tidak terlaksana. Gue nggak pernah chatting lagi sama dia sejak saat itu. Gue selalu berpikir untuk nge-chat sekali-kali tapi gue selalu mikir juga "Nanti ajalah. Lagi ada kerjaan lain.". Sampai pada malam ini, nanti ajalah itu gak akan bisa gue wujudkan lagi.

Gue selalu punya beragam kesempatan dan tiap-tiap hari untuk sekedar nanyain kabar dia, say hi, atau bahkan gue bisa dengerin curhatan dia. Dari kejadian ini, jujur gue belajar satu hal. Nggak ada kata terlambat dan nggak ada kata nanti untuk menjalin komunikasi. Apalagi dengan kawan lama yang sudah kayak saudara lo sendiri.

When you have to say hi, just say it. When you can love, just love. When you can listen, just listen. Before it's too late and you'll never get the chance again.

Selamat jalan, sobat. Lo tau gue akan selalu kangen sama lo, gue kangen juga buat dipeluk dan meluk elo. Semoga kita bisa berpelukan lagi pada satu ketika.

9.26.2016

Berlari Kembali

Sejujurnya ini bukan pertama kalinya gue mendapat ayat Matius 11:28 dalam perenungan Alkitab. Berulang kali gue udah dapet ayat dari Matius 11:28. Bahkan saat masih sekolah dulu, ayat tersebut menjadi salah satu bagian Alkitab yang paling gue inget.
Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
Sesungguhnya, kehidupan gue tidak berjalan semulus itu akhir-akhir ini. Lelah karena pekerjaan di kantor, ada pekerjaan lain yang harus dilakukan di rumah, ada relasi dengan orang-orang yang harus dijaga, pelayanan... dan beban pikiran lainnya yang tidak bisa gue utarakan. Bukannya mau menyombongkan diri bahwa gue orang sibuk atau apa... tapi gue sungguh-sungguh merasa kegiatan yang gue lakukan di atas adalah kegiatan mekanis. Gue pergi pagi hari, pulang malam, pekerjaan rumah dikerjakan sampai  larut, tidur, bangun pagi, begitu lagi. Untuk duduk menikmati kesendirian dan "me & Him" time aja rasanya udah terlalu lelah. Gue tidak menikmati lagi apa yang dahulu sering gue lakukan sebelum berangkat kuliah.

Ketika gue sedang lelah-lelahnya, tentu gue mencari penghiburan. Gue main game di ponsel gue. Gue nonton drama. Gue nonton apapun yang bisa bikin gue tertawa. Hingga akhirnya waktu gue pun habis untuk hal-hal tersebut. Gue nyaris seminggu nggak pegang gitar, gue nyaris seminggu juga gak buka buku apapun. Kemudian, permasalahan mulai muncul ketika gue mengabaikan beberapa tanggung jawab yang seharusnya gue lakukan.

Oke, kondisi ini adalah latar belakang gue menulis post ini malam ini. Gue sudah berjanji ketika mendapat satu hal untuk dibagikan, maka gue gak akan menunda-nunda menulis. Jadilah gue tulis.

Pagi ini, ketika di jalan menuju kantor, gue mendapatkan ayat yang sudah gue kutip di atas. Gue terdiam dan berpikir. Berapa seringkah ketika lelah gue mencari Tuhan? Ketika Dia menjadi satu-satunya pemberi kelegaan, kenapa gue harus mencarinya dari dunia yang memberi lega hanya sementara? Kehidupan gue yang memang sedang melelah-lelahkannya ini mungkin jadi satu hal yang mau Tuhan kasih lihat buat gue, satu jalan bagi gue untuk kembali duduk bersama dengan Dia dan menikmati kelegaan yang Dia berikan. Istirahat yang Dia berikan.

Ketika kita berlari padaNya, menerimaNya dengan segala kerendahan hati, di situ kita diberikan kelegaan, menyadari bahwa dalam kehidupan dengan segala hal melelahkan di dalamnya, kita gak akan bisa berjalan tanpaNya.

9.16.2016

Pernah Marah?

Setelah kemarin gue merasa tidak punya bahan untuk ditulis, pagi ini, gue mendapatkan bahan untuk ditulis, pada akhirnya. Praise Lord.

Sebenarnya, semua bermula dari kejadian di hari Sabtu minggu lalu ketika seseorang (selanjutnya disebut X) mengingkari janji. Intinya kami beberapa hari sebelumnya berjanji dan membuat rencana untuk hari Sabtu, tetapi pada hari Sabtu yang sama, X harus melaksanakan hal lain, dan gue baru tahu. Sebagai salah satu pihak yang sangat menantikan dan menginginkan kenyataan berjalan mulus sesuai rencana, gue kecewa. Gue bersikap ketus ketika membalas pesan singkat dari si X. Alternatif lain yang ditawarkan si X pun gue tolak, juga dengan ketus. Gue merasa, "Gue tuh nggak berhak lo perlakukan seperti ini. Kalau janji ya tepati dong." demikian yang gue pikirkan saat itu. Pada akhirnya, mungkin X pun kesal juga sama gue, ya sama-sama kesal, sama-sama dingin. Satu hari itu pun gue bad mood.

Kejadian lain yang membuat gue menulis post ini terjadi hari Kamis pagi. Ada satu hal yang kurang gue sukai untuk lakukan, tapi harus gue lakukan, tanpa diberitahu atau ditanyakan dulu apakah gue mau melakukan hal tersebut. Ya pasti gue akan menjawab tidak mau. Tapi seandainya orang yang menyuruh gue melakukan itu bertanya dulu, mungkin gue gak akan melakukannya dengan bersungut-sungut, dan sampai marah. Gue marah karena merasa "Gue punya pendapat, kenapa nggak tanya pendapat gue dulu sih? Gue gak suka melakukan hal itu!", pikir gue lagi. Kemudian sepagi itu, gue kesal, rasanya gak ada satu pun hal yang benar yang gue lakukan. Tidak ada damai sejahtera ketika gue tiba di kantor pagi itu. Kemudian, hal itu berujung pada ketusnya dan dinginnya gue dalam menanggapi pesan-pesan singkat yang datang. Karena marah, ya.

Syukurlah, semuanya kini sudah teratasi.

Kalau gue kilas balik, sebetulnya alasan si X mengingkari janji harusnya bisa gue terima dengan pikiran terbuka dan hati yang lapang. Gue nggak perlu semarah itu sampai ketus dan dingin menanggapi pesannya karena mengikuti rasa kecewa dan kemarahan dalam hati gue. Sebetulnya kejadian di Kamis pagi pun harusnya gue syukuri karena hal yang gue terpaksa lakukan itu sebetulnya bisa membuat gue jadi pribadi yang lebih berani dan bisa menolong orang lain. Gue nggak perlu mengeluarkan kata-kata yang dingin kepada orang yang gue kasihi untuk memuaskan amarah gue.

Ketika amarah menguasai diri kita, kita jadi nggak bisa memancarkan apa yang harusnya kita pancarkan--kasih. Kita kebanyakan mengikuti perasaan marah kita dengan ketus, dengan dingin, merasa berhak untuk tidak diperlakukan demikian oleh pihak lain... hingga tanpa sadar ada pihak-pihak yang mungkin tersinggung dan tersakiti karena kita mengikuti emosi itu. Gue teringat cerita Kain dan Habel, ketika Tuhan mengindahkan persembahan Habel, dan Kain menjadi marah karena hal tersebut. Gue tidak tahu apa yang ada di benak Kain pada saat itu. Apakah ia merasa berhak untuk diindahkan persembahannya oleh Tuhan? Apakah ia merasa jerih lelahnya tidak dihargai sehingga ia marah? Gue pun tidak tahu. Juga belum memahami kenapa Tuhan bertindak demikian. Akan tetapi, satu poin yang gue dapat dari cerita ini, Kain yang marah kemudian membunuh Habel. Kemarahan bisa menuntun kita untuk melakukan dosa.

Ayat Alkitab yang menjadi perenungan gue pada pagi hari ini adalah Yakobus 1:20
sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. (Terjemahan Baru)
Orang yang marah tidak dapat melakukan yang baik, yang menyenangkan hati Allah. (BIS)
Ketika gue membaca ini, gue kembali mengingat saat-saat gue pernah marah kepada orang-orang di sekitar gue. Gue seringkali bersikap ketus dan mungkin mengeluarkan kata-kata tajam yang sudah melukai hati mereka. Padahal, seringkali gue bikin Tuhan marah, dosa lagi dosa lagi, tapi lebih sering lagi Dia menunjukkan belas kasihNya buat gue. Gue percaya bahwa ketika Dia sudah menunjukkan belas kasih, membuat gue menerima belas kasih, itulah hal yang harusnya terpancar dari diri gue untuk orang lain, bahkan ketika gue dibuat kecewa atau dibuat marah oleh orang lain, karena itulah yang menyenangkan hatiNya.

Sulit memang untuk nggak marah saat kita dibuat kecewa, karena itu tiap saat kita butuh Dia untuk melembutkan hati kita supaya dapat menunjukkan belas kasihNya sebagai ganti amarah...

7.23.2016

Sebelum Makan Es Campur

"Kita harus berdoa sebelum makan."
Gue tersenyum ketika mendengar kalimat ini dari seorang adik perempuan di Sekolah Minggu siang tadi. Menu kami bukan makanan berat, cuma snack bernama es campur, tapi dia melipat tangan, menutup mata, dan berdoa.

Melihatnya berdoa, gue tiba-tiba terpikir, berapa banyak dari kita yang berdoa dan mengucap syukur untuk hal-hal kecil macam es campur? Berapa banyak dari kita yang mengucap syukur sebelum menyantap snack macam pisang goreng atau bolu kukus? (jadi laper...)

Gue pribadi mengakui bahwa seringkali gue tidak terpikir untuk melipat tangan dan menutup mata dan berdoa sebelum makan pisang goreng atau es campur hari ini. Boro-boro sikap berdoa, rasanya bilang terima kasih aja semacam kalau ingat. Waduh, jangan-jangan gue sudah menyepelekan berkat sekecil apapun dari Dia.

Gue teringat tentang kisah lima roti dan dua ikan dalam Alkitab. Menu makan hari itu sederhana pun sedikit, hanya roti dan ikan tapi hal yang dilakukan Tuhan Yesus adalah "...Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya..." (Yohanes 6:11 TB). Ia tetap mengucap syukur atas apa yang tersedia walau kecil dan sederhana.

Gue merasa tertegur. Demikian pula yang sering terjadi dalam kehidupan kita. Saat ada hal-hal kecil yang kita dapatkan, berkat-berkat kecil yang menurut kita sepele, kita jadi lupa untuk bilang "Terima kasih Tuhan untuk berkatnya.". Kita lebih sering berfokus pada berkat-berkat Tuhan yang lebih besar dan terkesan grand, big, beautiful.  Kadang dikasih berkat besar aja udah keburu bahagia dan lupa mengucap syukur. Kita tahu dan kita percaya juga bahwa Tuhan bekerja dalam segala hal, baik kecil maupun besar, sesederhana apapun atau sebesar apapun, ada tanganNya yang menyertai dan memberkati.

Entah itu es campur atau nasi padang, entah itu pisang goreng atau gurame bakar, He gave it for us to enjoy His bless and goodness.
"Mengucap syukurlah dalam segala hal..." --1 Tesalonika 5:18

6.19.2016

Kata Pengantar (Tidak Resmi)

Tuhan beserta dengan kamu bilamana kamu beserta dengan Dia. (2 Tawarikh 15:2)
--
Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu. (2 Tawarikh 15:7)
--
Gue menulis dua ayat Alkitab tersebut berbulan-bulan lalu di dinding, ketika gue sedang galau-galaunya mengerjakan skripsi. Baca buku tidak membantu, mau nulis nggak punya inspirasi, dan nonton film yang menjadi objek penelitian gue pun tidak membantu. Kesibukan gue bertambah dengan kerja paruh waktu sehingga gue nggak bisa sering-sering ke kampus dan bertemu dosen pembimbing. Gue sampai berpikir apakah gue bisa sidang semester ini, apakah yang akan terjadi kalau ternyata gue sampai harus menambah satu semester lagi? Pokoknya stagnan sekali rasanya skripsi ini. 

Jeleknya gue adalah kalau sudah lelah, gue akan lari. Gue berlari ke pekerjaan gue, gue tidur banyak-banyak, gue makan, pokoknya ada masa gue tidak menulis skripsi sampai satu atau dua minggu. Tapi gue tahu Tuhan nggak mau domba bandel satu ini menyerah. Maka Ia bukakan ayat tersebut pada gue dan ya, ada semangat lagi, somehow I feel my heart said, "Le, mau sampai kapan santai-santai? Ada upah, Le. Perjuangan kamu nggak akan sia-sia." Kalimat itu menampol gue sehingga gue kembali memulai, walau ada saat ketika gue jatuh lagi, males lagi, tapi toh akhirnya gue akan kembali bangkit, mengingat Ia ngasih kekuatan untuk gue kembali berjalan.

Lalu, terjadilah hari paling mendebarkan nomor sekian dalam hidup gue, yaitu 14 Juni 2016. Penentuan apakah nama gue akan tambah berat atau tidak haha... Hasilnya... Puji Tuhan... nama dan kewajiban tambah berat hehe... Nilai yang diberikan juga sesungguhnya tidak sepadan mengingat kemalasan gue dan kesibukan gue sehingga waktu gue tidak tercurah untuk si tugas akhir, tapi mungkin inilah yang Tuhan perbolehkan terjadi :")

Jadi, post hari ini akan gue dedikasikan untuk orang-orang yang telah mendukung gue dengan doa, dengan datang di hari sidang, dan dengan cara apapun :") Nama-nama mereka tidak mungkin cukup dimuat dalam kata pengantar yang akan gue tuliskan untuk skripsi gue :")

  • Adek. Terimakasih untuk pelukan, kasih, semangat, doa, sarannya yang lucu, sampai lawakannya seminggu sebelum gue sidang, "Cici, kamu salah apa sampai harus disidang?" :")
  • Papy Mamy. Terimakasih Papy yang sudah jemput malam-malam setiap kali Cici habis skripsian di kampus atau di tempat lain, terimakasih Mamy sudah menyuplai makanan supaya Cici punya tenaga dan terutama terimakasih untuk doa, dukungan, semangat, dan sarannya untuk membuat skripsi yang walau susah dan pernah saya sesali untuk ikuti, but thank you.
  • Tim #TidakAda16MeiTahunIni alias geng skripsi 2012: Imam, teman sepenantian gue yang murah dan baik hatinya, Kak Inta, yang selalu dicurhatin setiap ada masalah akademis maupun kegalauan non akademis, Redita, si anak ambis yang sudah bimbingan dari semester enam, Ana, teman galau akademis maupun non akademis, Diana, Unun, Bunga, Olla, Deni, Shasha, Kak Mei, Nenek, pihak-pihak yang sudah jadi teman kaget bersama selama masa penulisan, dan untuk Devina, semoga sehat selalu dan tetap semangat! Kami mendukungmu! :)
  • Kelompok Wanita Tegar: Fionna, yang menjelang sidang gue kirimin PPT dan VN latihan presentasi supaya dikasih saran :"), Gitta, yang menemani dan mendandani, makasih green tea-nya dan dandan gratisnya :"")), Shofi si anak sibuk yang sudah menyemengati untuk tetap tegar. Plus Redita yang sudah disebut di atas.
  • Lely, sobatku yang juga sedang membuat tugas akhir dan akan segera sidang, terimakasih udah mendoakan dan menyemangati, mendukung dan selalu jadi teman diskusi malam-malam. Untuk Jason, Pak Yus, dan dedek-dedek yang sempet main ke UI di saat gue lagi mentok-mentoknya mikirin skripsi, terimakasih untuk refreshing singkatnya :D 
  • Kakak Dyna, Kakak Ninim, dan Kak Lita yang sudah menjawab pertanyaan, meredakan kegalauan, meminjamkan skripsi dan PPT untuk sidang skripsi, kata terimakasih nggak cukup untuk membalas kebaikan hati kakak-kakak, kayaknya :") Terimakasih untuk Koko yang udah telepon sore-sore macem sales asuransi untuk mengucapkan selamat, terimakasih untuk kakak-kakak BKK lainnya yang sudah menyemangati juga :D Teman-teman BKK 2012, yang selalu mendukung dan mendoakan kami di manapun, juga yang sudah membantu kami saat sidang, memberi cemilan, apapun bentuk dukungan kalian, terimakasih. Untuk BKK 2013 dan Fray yang udah pindah planet untuk mendukung, terimakasih untuk dukungan doanya, juga kepada BKK 2014 dan 2015, terimakasih untuk dukungan dan semangatnya di socmed maupun ketika bertemu langsung. 
  • Untuk Lady, teman pertamaku yang ketemu pas daftar ulang pas baru jadi camaba :") terimakasih buat doanya, terimakasih udah dateng serta ngasih coklat pas sidang, semoga sukses juga sidangnya ya :") Untuk Anggita, teman empat tahun yang tidak pernah foto bersama, terimakasih udah menyemangati dan udah ngasih liat PPT-nya :") Untuk Sella, selamat udah jadi sarjana arsitektur! Thanks udah dateng dan ngasih coklat juga dan maaf gak bisa dateng pas lu sidang, besok-besok kita ketemu lagi yaa :) Untuk Afung, yang udah nyemangatin, sukses juga sidangnya :) 
  • Untuk teman-teman PO FIB UI yang tidak bisa disebutkan satu-satu, terimakasih sudah mendukung dalam doa dan menyemangati, untuk TKK dan PKK-ku, terimakasih doa dan semangatnya serta sharingnya :) 
  • Untuk Anisa yang juga sudah menyemangati, Gaby yang lupa gue kabari bakal sidang, Dila dan Indri, semoga kalian baik-baik. Untuk dia yang sudah membantu membuat slide untuk presentasi, mendengarkan latihan presentasi, ngasih saran, menjadi teman berdoa, dan memberi semangat. Sukses sidangnya yap! Untuk Nathan, sepupu yang menjadi teman diskusi mainstream maupun anti-mainstream, thanks for your pray, bro. Untuk teman-teman pelayanan SM, terimakasih atas pengertiannya.
  • Kepada pihak-pihak lain yang membantu gue dalam doa dan gue mungkin tidak tahu, orang terkasih, terdekat ataupun dekat namun jauh (?),saya menuliskan ini untuk kalian dan berterimakasih, semoga Tuhan membalas kebaikan hati kalian. Saya menuliskan ini bukan berdasarkan urutan siapa yang paling berarti, kalian sama berartinya buat saya #ciegitu. Terutama saya mengucap syukur kepada DIA, Pencipta yang setia :)
Untuk menutup post super panjang ini, perkenankanlah gue untuk memperlihatkan wajah-wajah sumringah lepas sidang haha...
Hari pertama: 13 Juni 2016

Foto ala-ala kloter pertama

Sumringahnya kloter kedua

Ceria~ lupa revisi
Setelah skripsi terbitlah revisi,
sampai jumpa, besok bertemu kembali.

6.06.2016

Berakar.

Gue sedang dalam masa-masa menyelesaikan tugas akhir. Gue merasa bodoh setelah menulis skripsi ini. Gue mendadak nggak bisa mengamalkan ilmu yang sudah gue dapat empat tahun belakangan. Gue merasa makin banyak gue baca, semakin gue nggak mengerti apa yang mau gue tulis. Gue stress. Nggak bisa makan. Tidur nggak tenang. Khawatir, takut, mikir negatif... di saat begini gue merasa... di mana sukacita yang Ia janjikan?

Di saat teman-teman yang lain sudah mendapat tandatangan dosen pembimbing di atas draf final skripsinya, gue masih berusaha menyelesaikan apa yang sudah gue pilih. Belum gila, tapi gue merasakan sesuatu yang salah dalam hidup dan hati gue akhir-akhir ini. Entah bagaimana gue kehilangan sukacita. Gue kehilangan semangat. Kehilangan rasa optimis. Gue dengan mudahnya nyemangatin orang, memberi kata-kata yang kedengeran bijak, tapi ketika gue bercermin... suara dalam hati semacam berkata "Semangatin orang terus, semangatin diri sendiri kok nggak bisa?"

Gue pernah baca satu ayat Alkitab yang terbuka secara nggak sengaja saat gue lagi saat teduh.
Kamu telah menerima Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. (Kolose 2:6-7)
Waktu gue baca ini saat itu, gue nggak ngerti. Gue tahu kita harus melekat sama Dia. Tapi berakar? Kenapa harus berakar?

Kemudian tibalah masa-masa kegelapan tak tentu arah gue yang sebenarnya masih berlangsung sampai pada saat gue menulis postingan ini.

Gue terpikirkan ayat ini dan kemudian gue terpikirkan satu ungkapan lain, "Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup menerpanya." dan gue terpikirkan akan kata "berakar". Gue terkesiap. Gue berpikir bahwa inilah yang dimaksud dengan berakar. Kita butuh berakar di dalam DIA karena kita butuh dasar yang kuat untuk tumbuh dan teguh berdiri. Seperti sebuah pohon, ketika pohon tersebut menanamkan akarnya pada tanah yang kuat, banyak zat hara, pohon tersebut juga dapat tumbuh kuat. Akarnya tertanam kuat dalam tanah tersebut. Semakin besar pohon tersebut tumbuh, semakin kencang angin yang menimpanya. Semakin besar risiko dia untuk tumbang, kalau akarnya tidak kuat menancap dalam tanah tersebut. Tapi, kalau pohon tersebut berakar dengan kuat ke tanah, sekuat apapun angin menerpa, pohon itu nggak perlu kuatir akan tumbang karena akarnya menancap pada tanah yang kuat dan mampu men-support tubuhnya.

Semakin kita mendekat sama Tuhan, itu gak serta merta membuat kita lepas begitu aja dari cobaan dan penderitaan. Tapi justru kita semakin 'baper' oleh karena pencobaan dan penderitaan yang ada. Banyak hal yang akan menggoda kita untuk jauh dari DIA, dan tumbang, kalau kita tidak kuat berakar di dalamNya. Saat itulah gue menyadari bahwa inilah pentingnya kita berakar di dalam DIA. Untuk tetap teguh berdiri dalam kepercayaan dan iman kita, sehingga saat cobaan menyerang, kita tetap kuat berdiri dan tetap melimpah dengan ucapan syukur karena masih ada DIA yang mendukung kita dalam segala keadaan.

Biar ini jadi peringatan dan ayat hafalan buat gue dalam menjalani masa-masa menyelesaikan tugas akhir ini.

5.02.2016

Perkara

Perkara merindumu, kasih
Tidak hanya sebatas jarak atau pula waktu
Terkadang perkara gengsi dan urusan kita masing-masing
Perkara mengobati hal itu, kasih
Rupa-rupanya memang sulit
Tidaklah semudah aku menerjemahkan kata asing dalam telingamu
Tidaklah semudah kau jelaskan bagaimana kerja sebuah mesin kepadaku

Menanti hari hujan selanjutnya...
2 Mei 2016

4.29.2016

Terbuka

Kita semua pasti pernah sakit. Apa yang akan terjadi kalau kita sakit parah sampai-sampai kita menderita karenanya dan kehidupan kita terganggu karena penyakit tersebut? Tentunya kita akan pergi bertemu dokter untuk mendapatkan pengobatan. Ketika kita ketemu dokter tersebut, tentunya kita akan menceritakan apa saja yang kita rasakan, di bagian mana kita merasa sakit, dan tentu kemudian si dokter baru bisa mendiagnosis kita sakit apa dan kemudian menentukan bagaimana kita harus diobati supaya kita bisa sembuh.

Seandainya dalam kondisi sakit parah kita tidak pergi menemui dokter dan tidak menceritakan apa yang kita alami, tentu penyakit tersebut akan tetap ada bahkan bisa jadi bertambah parah karena kita tidak menerima pengobatan yang seharusnya.

Ilustrasi ini tercetus dalam otak gue semalam. Dua hari yang lalu, gue mengikuti Kelompok Kecil dan salah satu poin yang gue inget adalah bersekutu membutuhkan kejujuran. Kejujuran membawa kita pada keterbukaan akan satu sama lain dan penerimaan. Hal ini juga pernah gue baca dalam buku Rick Warren sebelumnya. Kejujuran membuat kita tidak perlu menutupi diri lagi dalam sebuah persekutuan dan keterbukaan adalah sebuah tanda dalam atau tidaknya sebuah persekutuan.

Waktu SMP, gue pernah diberitahu oleh guru BP gue sebuah kalimat,
Keterbukaan adalah awal dari pemulihan
Kemudian gue terpikirkan persekutuan kita dengan Allah. Sesuatu yang berusaha kita tutupi dari Allah yakni dosa, gue ibaratkan sebagai sebuah penyakit yang ada dalam diri kita. Setengah mati kita berusaha menyembunyikan hal tersebut dan tidak mengakuinya di hadapan Allah maka setengah mati pula rasa sakit yang kita terima karenanya. Persekutuan dengan Allah pun jadi tak tenang dan tak seleluasa itu. Padahal, Allah merindukan persekutuan yang intim dengan kita.

Terus, bagaimana cara memulihkan hal ini?

Dengan datang pada dokter segala dokter, yakni Tuhan kita. Ketika kita terbuka, dengan jujur menyatakan segala kesalahan kita di hadapanNya dan memohon dengan rendah hati dan rendah diri, Ia yang adalah dokter dari penyakit tersebut akan memulihkan kita. Inilah gue pikir keterbukaan yang memberikan pemulihan. Ketika kita terbuka, hubungan kita denganNya pun turut dipulihkan dan kita bersekutu dengan tenang dan lega hati dengan Allah.

Keterbukaan akan kelemahan dan "penyakit" kita merupakan awal dari pemulihan kita dalam hal persekutuan kita dengan Allah dan juga dengan sesama.

4.24.2016

Akhir bagi Sebuah Awal, Awal untuk Sebuah Akhir

Oh iya, sebenarnya ada satu hal lagi yang bisa gue bagikan di sini. Sebagai pengingat juga dan menandai berakhirnya kisah gue dan berawalnya kisah yang lain. Bukan, ini bukan soal kehidupan percintaan gue dengan laki-laki. Ini soal kehidupan percintaan gue dengan (mantan) murid gue yang baru gue putuskan hari ini. She is an 8-years-old girl, fyi. Sebut saja dia GE.

Awal pertemuan gue dengan murid gue adalah karena seorang teman menawarkan kerjaan jadi guru les untuk dia. Dia adalah bocah Korea pertama yang akan gue ajar pada waktu itu. Sesungguhnya gue deg-degan banget waktu itu. Akan seperti apa anak ini? Baik gak? Nurut gak? Kalau gue ajarin, apakah dia akan mengerti? Karena saat itu gue butuh pengalaman dan juga butuh penghasilan, akhirnya gue mengiyakan tawaran tersebut. Seinget gue, pertama kali kita ketemu adalah Februari 2015. Pertama kali ketemu, dia masih malu-malu, mungkin dia juga bingung karena belum lancar berbahasa Inggris atau Indonesia dan gue juga belum tentu ngerti ketika dia nyerocos pake Bahasa Korea. Saat itu gue ngetes dia untuk tahu sejauh mana kemampuannya dan saat itu gue tahu bahwa gue tidak akan mudah mengajar GE. Selain karena gue yang masih miskin pengalaman sebagai pengajar, kendala bahasa adalah hal yang menjadi tantangan juga buat gue.

April 2016, berarti kurang lebih gue sudah mengajar dia selama 14 bulan. Selama mengajar GE, gue mengalami banyak hal yang kadang menguras emosi, menimbulkan pertanyaan dan kegalauan tersendiri buat gue sebagai guru lesnya, dan juga tawa. GE kadang susah diatur, tapi kalau lagi serius belajar, wah... gue kadang sampai bingung takut bahan selesai sebelum waktu les habis. GE termasuk anak yang sering berbagi cerita tentang kesehariannya di sekolah bersama teman-temannya. Kadang dia penasaran akan suatu hal, kemudian bertanya, kadang dia nari-nari ala girlband dan gue disuruh jadi penontonnya. Tapi dari semuanya itu, gue benar-benar belajar bersabar, mendengar, dan memperhatikan ketika gue mengajar GE. 

Kadang ada hal-hal yang bikin gue nggak paham si GE ini lagi ngambek kenapa, kalau udah ngambek, nggak mau belajar. Dipaksa belajar sambil marah, anaknya tambah menjadi. Wuw, pokoknya menguji kesabaran dan gue diajar untuk bersabar menghadapinya. Ketika GE cerita tentang kesehariannya, gue diajar untuk menjadi pendengar yang baik dan berusaha memberikan dia saran-saran. Termasuk ketika dia nanya hal sesimpel "Besok kan masuk sekolah, aku pakai kotak pensil yang mana ya?" dan meminta pendapat gue, gue belajar mendengar dan memperhatikan dia. Walaupun masih bocah, dia tetap aja punya perasaan, sama seperti orang dewasa dan gue juga belajar bahwa dia pun juga berharga di mata Tuhan. That's why, sebagai guru lesnya, sudah seharusnya gue memandang dan memperlakukan dia sebagaimana Tuhan memandang dan mengasihiNya.

Gue sempet ingin berhenti mengajar GE, jauh sebelum ini. Waktu itu gue berpikir kayaknya gue nggak cocok ngajar, kayaknya semakin lama anak ini akan semakin terikat dan malah manja sama gue. Kalau GE udah ngambek, gue rasanya mau nyerah aja. Tapi, gue teringat bahwa ini adalah perkara yang Tuhan sudah berikan pada gue. Tanggung jawab yang harus gue kerjakan dengan sepenuh hati bagaimanapun. Dan lebih penting lagi, Tuhan mengingatkan, Ia sayang GE, dan gue juga harusnya menyayangi GE seperti itu. Karena sering ngambek terus nyerah? Kesannya kok gue lepas tangan banget. Toh akhirnya seiring waktu, sikapnya yang suka ngambek bisa ditangani olehnya dibantu hiburan dari gue haha -_- Mungkin juga karena GE bertambah usia dan tambah dewasa... Mungkin banyak yang bilang gue berlebihan banget sampe sayang begitu ke murid les, tapi inilah kenyataannya, GE sudah seperti adik gue sendiri rasanya.

Bulan ini, gue memutuskan bahwa tanggal 23 April 2016 menjadi hari terakhir gue mengajar GE setelah 14 bulan. Selain karena skripsi, ada hal lain yang membuat gue dengan sangat terpaksa meninggalkan GE. Agak sedih sih, soalnya akhir-akhir ini dia lagi semangat belajar dan gampang dibuat fokus. Walaupun ini anak kadang gak bisa gue ngerti, tapi ada beberapa percakapan yang membuat gue gak tega mengakhiri pekerjaan ini:
Gue: λ„ˆ μ„ μƒλ‹˜μ΄ μ—¬κΈ° μžˆλŠ” 것... μ’‹μ•„? (Kalau ada aku di sini, kamu seneng ya?)
GE: 응. μ’‹μ•„. (Iya.)
Dulu gue sempet ngajar bersama temen gue juga dan biasanya, gue sama temen gue pulang bareng, saling tunggu juga kalau salah satu dari kita ada yang belum selesai mengajar. Maka terjadilah percakapan ini
GE: 쌀, μ–Έλ‹ˆ μŒ€μ΄λž‘ 같이 κ°€μ§€μš”? 그럼 우리 μ’€ λ†€μ•„μš”.  
(Miss, nanti sama gurunya kakak pulang bareng kan? Kita main sebentar yuk.)
Kesannya ini anak menahan gue untuk pulang -_- 
GE: γ…‹γ…‹γ…‹ λΉ„κ°€ μ™€μ„œ μ„ μƒλ‹˜ 집에 λͺ» κ°€ γ…‹γ…‹ μ—¬κΈ° 였래 μžˆμ„κ±°μ•Ό 
(Hahaha, karena hujan Miss nggak bisa pulang ke rumah haha, bakal lama deh di sini)
Yang paling gue inget sih ini:
GE: μ–Έλ‹ˆ μ„ μƒλ‹˜μ΄ μ§€κΈˆ μ·¨μ§ν•˜κ³  λ‹€μŒμ— μ„ μƒλ‹˜λ„ 바이바이 ν•˜κ² μ§€μš”. 
(Gurunya si kakak udah keterima kerja. Selanjutnya kita juga perlu say goodbye ya, Miss.) 
Gue: 응... 그럴 μˆ˜λ„ μžˆκ² μ§€... 근데 μ•„λ§ˆ κ°€λ₯΄μ³μ£ΌλŠ” 것 계속 ν•  μˆ˜λ„ μžˆμ–΄. 
(Ya, mungkin juga sih. Tapi mungkin juga aku tetap ngajarin kamu)
GE: 응? μ–΄λ–‘ν•΄? μ•„... 쌀이 λ©΄μ ‘ λ–¨μ–΄μ§€λ©΄ λ‚  계속 κ°€λ₯΄μ³μ€„ 수 μžˆκ² μ§€ γ…‹γ…‹ 
(Lah gimana bisa? Oh iya bisa sih, kalau Miss gagal pas wawancara hahaha) 
Gue: 그런 것 λ§ν•˜μ§€λ§ˆ μ•Ό...
(Ya jangan bilang gitu juga dong kamu)
Banyak percakapan random lainnya dengan GE yang kadang gue sendiri nggak ngerti kenapa ini anak bisa sampai mikir begitu. Bagaimanapun, gue bersyukur bahwa ini adalah sebuah pengalaman yang tidak terlupakan dan mengajarkan gue berbagai hal baru. Saat gue mengakhiri hal ini, akan ada awal yang baru buat GE dan gue. Awal yang baru antara GE dan temen gue yang menggantikan ngajar serta awal yang baru untuk pengalaman gue sendiri. Apapun itu, gue tentu selalu berharap si GE akan tumbuh tetap berada dalam kasih Tuhan dan gak melupakan gue haha...

κ·Έ λ™μ•ˆ 즐거운 μ‹œκ°„λ“€μ΄ κΈ°μ–΅ 속에 였래 남을것이닀.
(Akan tinggal dalam ingatan selalu, saat-saat menyenangkan kita pada waktu itu...)

4.23.2016

Menjaring Angin

Yak. Gue tahu saat gue menulis ini, di sini sudah setengah tiga pagi dan harusnya gue terlelap karena pagi ini masih harus mencari segenggam butiran emas untuk membiayai hidup dan mencetak skripsi. *kemudian menangis di pojok kamar* Tapi, berhubung gue tidak mengantuk (karena sudah tidur petang) dan gue mau cicil-cicil buat draf, jadilah gue masih terjaga. (Post ini kemudian dipubikasikan menjelang tengah malam keesokan harinya, atas keterlambatannya, maafkan)

Yak (lagi). Posting yang dibuat dini hari ini didasarkan pada pengalaman gue yang bisa dibaca di sini. Jadi, posting ini bersifat sebagai reminder buat gue dan juga semoga bisa menyemangati kawan-kawan yang tanpa sengaja terperosok (?) ke blog ini ;)

Dalam post yang itu, gue menceritakan tentang pengalaman gue yang gagal menerima sebuah pekerjaan yang gue idam-idamkan, sebuah pekerjaan yang rasanya, "Wah gue banget!". Waktu itu, gue berpikir begini, kenapa gue belum bisa mencapai apa-apa dalam hidup ini sementara temen-temen gue yang lain kayaknya udah mendapatkan banyak pengalaman khususnya dalam pekerjaan atau karir atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan pascakampus. Kita selalu punya kecenderungan untuk membandingkan diri kita dengan kehidupan orang lain. Orang lain begini, kita juga mau begini, bahkan mau yang lebih begini begitu daripada dia. Tujuannya? Supaya kita menang dari orang lain, melebihi orang lain, untuk kemudian bisa menepuk dada dengan angkuh dan bilang, "Hey look! This is me!" (Hai, lihat! Ini loh aku!). Hingga pada akhirnya, hal-hal yang memotivasi kita untuk melakukan segala sesuatu adalah rasa iri hati kita dengan kehidupan orang lain.

Akan tetapi, beberapa waktu lalu, gue diingatkan melalui sebuah ayat dari kitab Pengkhotbah dan juga oleh buku Purpose Driven Life karangan Rick Warren. Ayatnya berbunyi begini:
Aku tahu juga bahwa manusia bekerja begitu keras, hanya karena iri hati melihat hasil usaha tetangganya. Semua itu sia-sia belaka seperti usaha mengejar angin. (Pengkhotbah 4:4 BIS)
Wow. Mengejar angin menurut gue adalah pengibaratan yang cukup tepat di sini. Ketika kehidupan kita, pekerjaan kita, usaha kita dalam kuliah, digerakkan oleh iri hati karena ada orang yang rasa-rasanya lebih baik kehidupannya dari kita, Pengkhotbah mengatakan bahwa itu semua adalah sia-sia belaka seperti berusaha menjaring angin. Kita selalu mencari orang untuk kita tandingi. Ada sebuah kalimat yang berbunyi begini, "Di atas langit masih ada langit". Kita tidak pernah tahu di mana langit berakhir sama seperti kita tidak tahu siapa manusia terhebat yang tidak bisa dikalahkan. Kita tidak akan pernah bisa puas, kita tidak akan pernah bisa bersyukur, kala iri hati masih menempati hati kita dan bahkan menjadi motor penggerak dari setiap usaha kita. Makan ati lah pokoknya kalau dasar dari usaha kita itu pakai iri hati. Kita capek, kita jenuh, dan pada akhirnya kita tidak bisa bersukacita dalam melakukan setiap hal yang sudah tangan kita temui untuk dikerjakan.

Nah, itu refleksi gue yang pertama. Refleksi gue yang kedua adalah bahwa He is good and always good. DIA baik dan akan selalu begitu. Bahkan sesungguhnya ada saat dimana gue merasa Dia terlalu baik kepada gue yang kerjaannya kalo nggak ngeluh, ngomel, ngeluh, ngomel, ngegerutu, males-malesan... Kenapa gue bisa bilang demikian? Well, akan ada saatnya lagi untuk aku bercerita khkh. Sampai jumpa lagi!