9.16.2016

Pernah Marah?

Setelah kemarin gue merasa tidak punya bahan untuk ditulis, pagi ini, gue mendapatkan bahan untuk ditulis, pada akhirnya. Praise Lord.

Sebenarnya, semua bermula dari kejadian di hari Sabtu minggu lalu ketika seseorang (selanjutnya disebut X) mengingkari janji. Intinya kami beberapa hari sebelumnya berjanji dan membuat rencana untuk hari Sabtu, tetapi pada hari Sabtu yang sama, X harus melaksanakan hal lain, dan gue baru tahu. Sebagai salah satu pihak yang sangat menantikan dan menginginkan kenyataan berjalan mulus sesuai rencana, gue kecewa. Gue bersikap ketus ketika membalas pesan singkat dari si X. Alternatif lain yang ditawarkan si X pun gue tolak, juga dengan ketus. Gue merasa, "Gue tuh nggak berhak lo perlakukan seperti ini. Kalau janji ya tepati dong." demikian yang gue pikirkan saat itu. Pada akhirnya, mungkin X pun kesal juga sama gue, ya sama-sama kesal, sama-sama dingin. Satu hari itu pun gue bad mood.

Kejadian lain yang membuat gue menulis post ini terjadi hari Kamis pagi. Ada satu hal yang kurang gue sukai untuk lakukan, tapi harus gue lakukan, tanpa diberitahu atau ditanyakan dulu apakah gue mau melakukan hal tersebut. Ya pasti gue akan menjawab tidak mau. Tapi seandainya orang yang menyuruh gue melakukan itu bertanya dulu, mungkin gue gak akan melakukannya dengan bersungut-sungut, dan sampai marah. Gue marah karena merasa "Gue punya pendapat, kenapa nggak tanya pendapat gue dulu sih? Gue gak suka melakukan hal itu!", pikir gue lagi. Kemudian sepagi itu, gue kesal, rasanya gak ada satu pun hal yang benar yang gue lakukan. Tidak ada damai sejahtera ketika gue tiba di kantor pagi itu. Kemudian, hal itu berujung pada ketusnya dan dinginnya gue dalam menanggapi pesan-pesan singkat yang datang. Karena marah, ya.

Syukurlah, semuanya kini sudah teratasi.

Kalau gue kilas balik, sebetulnya alasan si X mengingkari janji harusnya bisa gue terima dengan pikiran terbuka dan hati yang lapang. Gue nggak perlu semarah itu sampai ketus dan dingin menanggapi pesannya karena mengikuti rasa kecewa dan kemarahan dalam hati gue. Sebetulnya kejadian di Kamis pagi pun harusnya gue syukuri karena hal yang gue terpaksa lakukan itu sebetulnya bisa membuat gue jadi pribadi yang lebih berani dan bisa menolong orang lain. Gue nggak perlu mengeluarkan kata-kata yang dingin kepada orang yang gue kasihi untuk memuaskan amarah gue.

Ketika amarah menguasai diri kita, kita jadi nggak bisa memancarkan apa yang harusnya kita pancarkan--kasih. Kita kebanyakan mengikuti perasaan marah kita dengan ketus, dengan dingin, merasa berhak untuk tidak diperlakukan demikian oleh pihak lain... hingga tanpa sadar ada pihak-pihak yang mungkin tersinggung dan tersakiti karena kita mengikuti emosi itu. Gue teringat cerita Kain dan Habel, ketika Tuhan mengindahkan persembahan Habel, dan Kain menjadi marah karena hal tersebut. Gue tidak tahu apa yang ada di benak Kain pada saat itu. Apakah ia merasa berhak untuk diindahkan persembahannya oleh Tuhan? Apakah ia merasa jerih lelahnya tidak dihargai sehingga ia marah? Gue pun tidak tahu. Juga belum memahami kenapa Tuhan bertindak demikian. Akan tetapi, satu poin yang gue dapat dari cerita ini, Kain yang marah kemudian membunuh Habel. Kemarahan bisa menuntun kita untuk melakukan dosa.

Ayat Alkitab yang menjadi perenungan gue pada pagi hari ini adalah Yakobus 1:20
sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. (Terjemahan Baru)
Orang yang marah tidak dapat melakukan yang baik, yang menyenangkan hati Allah. (BIS)
Ketika gue membaca ini, gue kembali mengingat saat-saat gue pernah marah kepada orang-orang di sekitar gue. Gue seringkali bersikap ketus dan mungkin mengeluarkan kata-kata tajam yang sudah melukai hati mereka. Padahal, seringkali gue bikin Tuhan marah, dosa lagi dosa lagi, tapi lebih sering lagi Dia menunjukkan belas kasihNya buat gue. Gue percaya bahwa ketika Dia sudah menunjukkan belas kasih, membuat gue menerima belas kasih, itulah hal yang harusnya terpancar dari diri gue untuk orang lain, bahkan ketika gue dibuat kecewa atau dibuat marah oleh orang lain, karena itulah yang menyenangkan hatiNya.

Sulit memang untuk nggak marah saat kita dibuat kecewa, karena itu tiap saat kita butuh Dia untuk melembutkan hati kita supaya dapat menunjukkan belas kasihNya sebagai ganti amarah...

No comments:

Post a Comment