4.23.2016

Menjaring Angin

Yak. Gue tahu saat gue menulis ini, di sini sudah setengah tiga pagi dan harusnya gue terlelap karena pagi ini masih harus mencari segenggam butiran emas untuk membiayai hidup dan mencetak skripsi. *kemudian menangis di pojok kamar* Tapi, berhubung gue tidak mengantuk (karena sudah tidur petang) dan gue mau cicil-cicil buat draf, jadilah gue masih terjaga. (Post ini kemudian dipubikasikan menjelang tengah malam keesokan harinya, atas keterlambatannya, maafkan)

Yak (lagi). Posting yang dibuat dini hari ini didasarkan pada pengalaman gue yang bisa dibaca di sini. Jadi, posting ini bersifat sebagai reminder buat gue dan juga semoga bisa menyemangati kawan-kawan yang tanpa sengaja terperosok (?) ke blog ini ;)

Dalam post yang itu, gue menceritakan tentang pengalaman gue yang gagal menerima sebuah pekerjaan yang gue idam-idamkan, sebuah pekerjaan yang rasanya, "Wah gue banget!". Waktu itu, gue berpikir begini, kenapa gue belum bisa mencapai apa-apa dalam hidup ini sementara temen-temen gue yang lain kayaknya udah mendapatkan banyak pengalaman khususnya dalam pekerjaan atau karir atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan pascakampus. Kita selalu punya kecenderungan untuk membandingkan diri kita dengan kehidupan orang lain. Orang lain begini, kita juga mau begini, bahkan mau yang lebih begini begitu daripada dia. Tujuannya? Supaya kita menang dari orang lain, melebihi orang lain, untuk kemudian bisa menepuk dada dengan angkuh dan bilang, "Hey look! This is me!" (Hai, lihat! Ini loh aku!). Hingga pada akhirnya, hal-hal yang memotivasi kita untuk melakukan segala sesuatu adalah rasa iri hati kita dengan kehidupan orang lain.

Akan tetapi, beberapa waktu lalu, gue diingatkan melalui sebuah ayat dari kitab Pengkhotbah dan juga oleh buku Purpose Driven Life karangan Rick Warren. Ayatnya berbunyi begini:
Aku tahu juga bahwa manusia bekerja begitu keras, hanya karena iri hati melihat hasil usaha tetangganya. Semua itu sia-sia belaka seperti usaha mengejar angin. (Pengkhotbah 4:4 BIS)
Wow. Mengejar angin menurut gue adalah pengibaratan yang cukup tepat di sini. Ketika kehidupan kita, pekerjaan kita, usaha kita dalam kuliah, digerakkan oleh iri hati karena ada orang yang rasa-rasanya lebih baik kehidupannya dari kita, Pengkhotbah mengatakan bahwa itu semua adalah sia-sia belaka seperti berusaha menjaring angin. Kita selalu mencari orang untuk kita tandingi. Ada sebuah kalimat yang berbunyi begini, "Di atas langit masih ada langit". Kita tidak pernah tahu di mana langit berakhir sama seperti kita tidak tahu siapa manusia terhebat yang tidak bisa dikalahkan. Kita tidak akan pernah bisa puas, kita tidak akan pernah bisa bersyukur, kala iri hati masih menempati hati kita dan bahkan menjadi motor penggerak dari setiap usaha kita. Makan ati lah pokoknya kalau dasar dari usaha kita itu pakai iri hati. Kita capek, kita jenuh, dan pada akhirnya kita tidak bisa bersukacita dalam melakukan setiap hal yang sudah tangan kita temui untuk dikerjakan.

Nah, itu refleksi gue yang pertama. Refleksi gue yang kedua adalah bahwa He is good and always good. DIA baik dan akan selalu begitu. Bahkan sesungguhnya ada saat dimana gue merasa Dia terlalu baik kepada gue yang kerjaannya kalo nggak ngeluh, ngomel, ngeluh, ngomel, ngegerutu, males-malesan... Kenapa gue bisa bilang demikian? Well, akan ada saatnya lagi untuk aku bercerita khkh. Sampai jumpa lagi!

No comments:

Post a Comment