6.30.2015

Petuah

Sabtu kemarin, pas lagi makan malam, terjadi percakapan antara gue dan orangtua gue. Kira-kira begini isi percakapannya:

Papy : Cici, kok kamu makan dikit sih?
Gue : Iya, perutnya lagi nggak enak.
Mamy : Iya, Py. Dia mah makannya sedikit. Lagi berbunga-bunga, makanya kenyang terus.
Gue : *ketawa datar*
Papy : Jangan terlalu berbunga-bunga, nanti kamu lepas kendali.
Gue : *keselek nasi padang*

Lepas kendali. Ya, gue merasa gue sudah lepas kendali belakangan ini. Lepas kendali dalam hal emosi. Gue nggak mau terlalu membawa dan dikendalikan oleh emosi gue sekarang, karena emosi gue lebih sering salah daripada benarnya.

Kata-kata Papy yang ini perlu gue catat dalam hati bahkan gue kalungkan di leher gue setiap saat.

Ada lagi sebuah kalimat yang beliau lontarkan:
Jangan sampai gentong yang menghampiri gayung.

Intinya, yang gue terjemahkan dari kalimat ini adalah baiklah ia yang menghampiri dan gue tetap dalam sunyi. Gak grasa grusu, dan menunggu dengan tenang. Well, ini juga gue setuju.

Petuah yang gue dapet akhir-akhir ini diucapkan seolah orangtua gue tahu kalau anaknya ini gampang kebawa perasaan sehingga ya... jadi menghampiri gayung (#apalah). Tapi gue setuju dengan Papy, karena memang sudah seharusnyalah demikian seperti kata beliau. 


6.24.2015

Marah yang Sia-sia

Gue pernah menulis soal kemarahan gue akan sebuah hal (ada di arsip Maret 2015 ternyata hehe...). Kemarahan yang hari ini gue sesali (tapi tidak sampai habis). Kemarahan yang jadi sia-sia karena tidak menghasilkan apa-apa.

Gue sedang berkomunikasi dengan seorang teman yang sudah lama tidak gue temui. Dia termasuk teman diskusi gue yang paling asik sekaligus teman yang gue maksud dalam hal yang membuat gue marah itu hehe... ironis ya?
Gue menawarkan dia sebuah pelayanan pada awalnya dan ujung-ujungnya kita malah membahas hal yang paling sensitif (menurut gue) dan sebenarnya paling nggak mau gue bahas.

Ia awalnya berada dalam sebuah lingkungan yang sama dengan gue. Di mata gue, dia termasuk salah satu sosok yang berpengaruh di lingkungan awal ini. Sampai suatu kali, ia berkata bahwa ia akan keluar dari lingkungan ini. Bersamaan dengan keluarnya dia, keluar pula beberapa orang yang gue tahu cukup dekat dengan dia. Hal yang membuat gue marah adalah saat dimana dulu ia ikut mempertanyakan dan ikut membicarakan orang-orang yang keluar dari lingkungan ini. Dan ia berujung menjadi orang yang sama juga. Gue kecewa. Tapi mungkin kekecewaan gue hanya karena gue akan merasa ditinggalkan sendirian dengan hal-hal yang bermasalah ini.

Tapi, sejak semalam gue merenungkan, kemarahan gue ini sia-sia. Karena pada intinya, dia menyatakan bahwa saat ini dia sudah berada di lingkungan baru yang mampu membuatnya bertumbuh dan mampu membuatnya belajar lebih banyak dibandingkan di lingkungan awal kami. Ia bercerita kalo dia keluar dari tempat sebelumnya karena ia tidak bertumbuh dan tidak punya sosok untuk dipanut. Dan sejujurnya, gue lega mendengarnya. Ia keluar untuk sesuatu yang lebih baik. Kemarahan gue pun jadi sia-sia saja. Kemarahan gue padanya (dan pada mereka) tidak membawa gue lebih baik, malah membawa gue berpikiran negatif, bahkan sempet mikir yang bukan-bukan soal dia. Kemarahan gue tergantikan dengan kelegaan.

Gue sekaligus merasa ditegur juga. Gue cuma bisa marah tanpa bisa melampiaskannya pada hal-hal yang baik. Gue cuma bisa marah, tanpa bisa melihat secara objektif apa alasan seseorang melakukan sebuah hal. And He once again asked me back, "Masih mau marah-marah lagi padahal kamu tau temenmu sekarang keadaannya jauh lebih baik?"

--

Maaf ya, bro. Kalau gue pun sebenarnya sempat berpikir yang bukan-bukan.
Good luck there, bro!
God bless you. :)

6.22.2015

x

Buat saya kamu tetap misteri
Di balik malam jawaban tentangmu tersembunyi
Dan sayang pula tidak terjawab oleh datangnya pagi
Kadang kamu jadi orang yang kurindu setengah mati
Kadang kamu jadi sosok yang paling ingin kubenci
--
Jakarta, 22 Juni 2015
(ada pertemuan dan rindu yang harus ditunda, untuk menghidupkan rasa yang lebih besar lagi. Malam.)

6.05.2015

Senja hari ini menawan
Semburat jingga malu-malu
di balik kaca-kaca angkuh pencakar langit
Berhias lampu-lampu merah oranye di atas aspal hitam
Tanpa hujan hanya angin
Dan gelap yang kian lama merasuki lembayung
Menjelma jadi permadani tanpa batas
Wajah lelah penuh penantian di seberang
Harap cemas menunggu tumpangan
Kembali pulang

6.02.2015

Thinking (out loud)

"Itulah tepatnya yang harus saya lakukan."
(Passion & Purity - Elisabeth Elliot)