4.29.2016

Terbuka

Kita semua pasti pernah sakit. Apa yang akan terjadi kalau kita sakit parah sampai-sampai kita menderita karenanya dan kehidupan kita terganggu karena penyakit tersebut? Tentunya kita akan pergi bertemu dokter untuk mendapatkan pengobatan. Ketika kita ketemu dokter tersebut, tentunya kita akan menceritakan apa saja yang kita rasakan, di bagian mana kita merasa sakit, dan tentu kemudian si dokter baru bisa mendiagnosis kita sakit apa dan kemudian menentukan bagaimana kita harus diobati supaya kita bisa sembuh.

Seandainya dalam kondisi sakit parah kita tidak pergi menemui dokter dan tidak menceritakan apa yang kita alami, tentu penyakit tersebut akan tetap ada bahkan bisa jadi bertambah parah karena kita tidak menerima pengobatan yang seharusnya.

Ilustrasi ini tercetus dalam otak gue semalam. Dua hari yang lalu, gue mengikuti Kelompok Kecil dan salah satu poin yang gue inget adalah bersekutu membutuhkan kejujuran. Kejujuran membawa kita pada keterbukaan akan satu sama lain dan penerimaan. Hal ini juga pernah gue baca dalam buku Rick Warren sebelumnya. Kejujuran membuat kita tidak perlu menutupi diri lagi dalam sebuah persekutuan dan keterbukaan adalah sebuah tanda dalam atau tidaknya sebuah persekutuan.

Waktu SMP, gue pernah diberitahu oleh guru BP gue sebuah kalimat,
Keterbukaan adalah awal dari pemulihan
Kemudian gue terpikirkan persekutuan kita dengan Allah. Sesuatu yang berusaha kita tutupi dari Allah yakni dosa, gue ibaratkan sebagai sebuah penyakit yang ada dalam diri kita. Setengah mati kita berusaha menyembunyikan hal tersebut dan tidak mengakuinya di hadapan Allah maka setengah mati pula rasa sakit yang kita terima karenanya. Persekutuan dengan Allah pun jadi tak tenang dan tak seleluasa itu. Padahal, Allah merindukan persekutuan yang intim dengan kita.

Terus, bagaimana cara memulihkan hal ini?

Dengan datang pada dokter segala dokter, yakni Tuhan kita. Ketika kita terbuka, dengan jujur menyatakan segala kesalahan kita di hadapanNya dan memohon dengan rendah hati dan rendah diri, Ia yang adalah dokter dari penyakit tersebut akan memulihkan kita. Inilah gue pikir keterbukaan yang memberikan pemulihan. Ketika kita terbuka, hubungan kita denganNya pun turut dipulihkan dan kita bersekutu dengan tenang dan lega hati dengan Allah.

Keterbukaan akan kelemahan dan "penyakit" kita merupakan awal dari pemulihan kita dalam hal persekutuan kita dengan Allah dan juga dengan sesama.

4.24.2016

Akhir bagi Sebuah Awal, Awal untuk Sebuah Akhir

Oh iya, sebenarnya ada satu hal lagi yang bisa gue bagikan di sini. Sebagai pengingat juga dan menandai berakhirnya kisah gue dan berawalnya kisah yang lain. Bukan, ini bukan soal kehidupan percintaan gue dengan laki-laki. Ini soal kehidupan percintaan gue dengan (mantan) murid gue yang baru gue putuskan hari ini. She is an 8-years-old girl, fyi. Sebut saja dia GE.

Awal pertemuan gue dengan murid gue adalah karena seorang teman menawarkan kerjaan jadi guru les untuk dia. Dia adalah bocah Korea pertama yang akan gue ajar pada waktu itu. Sesungguhnya gue deg-degan banget waktu itu. Akan seperti apa anak ini? Baik gak? Nurut gak? Kalau gue ajarin, apakah dia akan mengerti? Karena saat itu gue butuh pengalaman dan juga butuh penghasilan, akhirnya gue mengiyakan tawaran tersebut. Seinget gue, pertama kali kita ketemu adalah Februari 2015. Pertama kali ketemu, dia masih malu-malu, mungkin dia juga bingung karena belum lancar berbahasa Inggris atau Indonesia dan gue juga belum tentu ngerti ketika dia nyerocos pake Bahasa Korea. Saat itu gue ngetes dia untuk tahu sejauh mana kemampuannya dan saat itu gue tahu bahwa gue tidak akan mudah mengajar GE. Selain karena gue yang masih miskin pengalaman sebagai pengajar, kendala bahasa adalah hal yang menjadi tantangan juga buat gue.

April 2016, berarti kurang lebih gue sudah mengajar dia selama 14 bulan. Selama mengajar GE, gue mengalami banyak hal yang kadang menguras emosi, menimbulkan pertanyaan dan kegalauan tersendiri buat gue sebagai guru lesnya, dan juga tawa. GE kadang susah diatur, tapi kalau lagi serius belajar, wah... gue kadang sampai bingung takut bahan selesai sebelum waktu les habis. GE termasuk anak yang sering berbagi cerita tentang kesehariannya di sekolah bersama teman-temannya. Kadang dia penasaran akan suatu hal, kemudian bertanya, kadang dia nari-nari ala girlband dan gue disuruh jadi penontonnya. Tapi dari semuanya itu, gue benar-benar belajar bersabar, mendengar, dan memperhatikan ketika gue mengajar GE. 

Kadang ada hal-hal yang bikin gue nggak paham si GE ini lagi ngambek kenapa, kalau udah ngambek, nggak mau belajar. Dipaksa belajar sambil marah, anaknya tambah menjadi. Wuw, pokoknya menguji kesabaran dan gue diajar untuk bersabar menghadapinya. Ketika GE cerita tentang kesehariannya, gue diajar untuk menjadi pendengar yang baik dan berusaha memberikan dia saran-saran. Termasuk ketika dia nanya hal sesimpel "Besok kan masuk sekolah, aku pakai kotak pensil yang mana ya?" dan meminta pendapat gue, gue belajar mendengar dan memperhatikan dia. Walaupun masih bocah, dia tetap aja punya perasaan, sama seperti orang dewasa dan gue juga belajar bahwa dia pun juga berharga di mata Tuhan. That's why, sebagai guru lesnya, sudah seharusnya gue memandang dan memperlakukan dia sebagaimana Tuhan memandang dan mengasihiNya.

Gue sempet ingin berhenti mengajar GE, jauh sebelum ini. Waktu itu gue berpikir kayaknya gue nggak cocok ngajar, kayaknya semakin lama anak ini akan semakin terikat dan malah manja sama gue. Kalau GE udah ngambek, gue rasanya mau nyerah aja. Tapi, gue teringat bahwa ini adalah perkara yang Tuhan sudah berikan pada gue. Tanggung jawab yang harus gue kerjakan dengan sepenuh hati bagaimanapun. Dan lebih penting lagi, Tuhan mengingatkan, Ia sayang GE, dan gue juga harusnya menyayangi GE seperti itu. Karena sering ngambek terus nyerah? Kesannya kok gue lepas tangan banget. Toh akhirnya seiring waktu, sikapnya yang suka ngambek bisa ditangani olehnya dibantu hiburan dari gue haha -_- Mungkin juga karena GE bertambah usia dan tambah dewasa... Mungkin banyak yang bilang gue berlebihan banget sampe sayang begitu ke murid les, tapi inilah kenyataannya, GE sudah seperti adik gue sendiri rasanya.

Bulan ini, gue memutuskan bahwa tanggal 23 April 2016 menjadi hari terakhir gue mengajar GE setelah 14 bulan. Selain karena skripsi, ada hal lain yang membuat gue dengan sangat terpaksa meninggalkan GE. Agak sedih sih, soalnya akhir-akhir ini dia lagi semangat belajar dan gampang dibuat fokus. Walaupun ini anak kadang gak bisa gue ngerti, tapi ada beberapa percakapan yang membuat gue gak tega mengakhiri pekerjaan ini:
Gue: 너 선생님이 여기 있는 것... 좋아? (Kalau ada aku di sini, kamu seneng ya?)
GE: 응. 좋아. (Iya.)
Dulu gue sempet ngajar bersama temen gue juga dan biasanya, gue sama temen gue pulang bareng, saling tunggu juga kalau salah satu dari kita ada yang belum selesai mengajar. Maka terjadilah percakapan ini
GE: 쌤, 언니 쌤이랑 같이 가지요? 그럼 우리 좀 놀아요.  
(Miss, nanti sama gurunya kakak pulang bareng kan? Kita main sebentar yuk.)
Kesannya ini anak menahan gue untuk pulang -_- 
GE: ㅋㅋㅋ 비가 와서 선생님 집에 못 가 ㅋㅋ 여기 오래 있을거야 
(Hahaha, karena hujan Miss nggak bisa pulang ke rumah haha, bakal lama deh di sini)
Yang paling gue inget sih ini:
GE: 언니 선생님이 지금 취직하고 다음에 선생님도 바이바이 하겠지요. 
(Gurunya si kakak udah keterima kerja. Selanjutnya kita juga perlu say goodbye ya, Miss.) 
Gue: 응... 그럴 수도 있겠지... 근데 아마 가르쳐주는 것 계속 할 수도 있어. 
(Ya, mungkin juga sih. Tapi mungkin juga aku tetap ngajarin kamu)
GE: 응? 어떡해? 아... 쌤이 면접 떨어지면 날 계속 가르쳐줄 수 있겠지 ㅋㅋ 
(Lah gimana bisa? Oh iya bisa sih, kalau Miss gagal pas wawancara hahaha) 
Gue: 그런 것 말하지마 야...
(Ya jangan bilang gitu juga dong kamu)
Banyak percakapan random lainnya dengan GE yang kadang gue sendiri nggak ngerti kenapa ini anak bisa sampai mikir begitu. Bagaimanapun, gue bersyukur bahwa ini adalah sebuah pengalaman yang tidak terlupakan dan mengajarkan gue berbagai hal baru. Saat gue mengakhiri hal ini, akan ada awal yang baru buat GE dan gue. Awal yang baru antara GE dan temen gue yang menggantikan ngajar serta awal yang baru untuk pengalaman gue sendiri. Apapun itu, gue tentu selalu berharap si GE akan tumbuh tetap berada dalam kasih Tuhan dan gak melupakan gue haha...

그 동안 즐거운 시간들이 기억 속에 오래 남을것이다.
(Akan tinggal dalam ingatan selalu, saat-saat menyenangkan kita pada waktu itu...)

4.23.2016

Menjaring Angin

Yak. Gue tahu saat gue menulis ini, di sini sudah setengah tiga pagi dan harusnya gue terlelap karena pagi ini masih harus mencari segenggam butiran emas untuk membiayai hidup dan mencetak skripsi. *kemudian menangis di pojok kamar* Tapi, berhubung gue tidak mengantuk (karena sudah tidur petang) dan gue mau cicil-cicil buat draf, jadilah gue masih terjaga. (Post ini kemudian dipubikasikan menjelang tengah malam keesokan harinya, atas keterlambatannya, maafkan)

Yak (lagi). Posting yang dibuat dini hari ini didasarkan pada pengalaman gue yang bisa dibaca di sini. Jadi, posting ini bersifat sebagai reminder buat gue dan juga semoga bisa menyemangati kawan-kawan yang tanpa sengaja terperosok (?) ke blog ini ;)

Dalam post yang itu, gue menceritakan tentang pengalaman gue yang gagal menerima sebuah pekerjaan yang gue idam-idamkan, sebuah pekerjaan yang rasanya, "Wah gue banget!". Waktu itu, gue berpikir begini, kenapa gue belum bisa mencapai apa-apa dalam hidup ini sementara temen-temen gue yang lain kayaknya udah mendapatkan banyak pengalaman khususnya dalam pekerjaan atau karir atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan pascakampus. Kita selalu punya kecenderungan untuk membandingkan diri kita dengan kehidupan orang lain. Orang lain begini, kita juga mau begini, bahkan mau yang lebih begini begitu daripada dia. Tujuannya? Supaya kita menang dari orang lain, melebihi orang lain, untuk kemudian bisa menepuk dada dengan angkuh dan bilang, "Hey look! This is me!" (Hai, lihat! Ini loh aku!). Hingga pada akhirnya, hal-hal yang memotivasi kita untuk melakukan segala sesuatu adalah rasa iri hati kita dengan kehidupan orang lain.

Akan tetapi, beberapa waktu lalu, gue diingatkan melalui sebuah ayat dari kitab Pengkhotbah dan juga oleh buku Purpose Driven Life karangan Rick Warren. Ayatnya berbunyi begini:
Aku tahu juga bahwa manusia bekerja begitu keras, hanya karena iri hati melihat hasil usaha tetangganya. Semua itu sia-sia belaka seperti usaha mengejar angin. (Pengkhotbah 4:4 BIS)
Wow. Mengejar angin menurut gue adalah pengibaratan yang cukup tepat di sini. Ketika kehidupan kita, pekerjaan kita, usaha kita dalam kuliah, digerakkan oleh iri hati karena ada orang yang rasa-rasanya lebih baik kehidupannya dari kita, Pengkhotbah mengatakan bahwa itu semua adalah sia-sia belaka seperti berusaha menjaring angin. Kita selalu mencari orang untuk kita tandingi. Ada sebuah kalimat yang berbunyi begini, "Di atas langit masih ada langit". Kita tidak pernah tahu di mana langit berakhir sama seperti kita tidak tahu siapa manusia terhebat yang tidak bisa dikalahkan. Kita tidak akan pernah bisa puas, kita tidak akan pernah bisa bersyukur, kala iri hati masih menempati hati kita dan bahkan menjadi motor penggerak dari setiap usaha kita. Makan ati lah pokoknya kalau dasar dari usaha kita itu pakai iri hati. Kita capek, kita jenuh, dan pada akhirnya kita tidak bisa bersukacita dalam melakukan setiap hal yang sudah tangan kita temui untuk dikerjakan.

Nah, itu refleksi gue yang pertama. Refleksi gue yang kedua adalah bahwa He is good and always good. DIA baik dan akan selalu begitu. Bahkan sesungguhnya ada saat dimana gue merasa Dia terlalu baik kepada gue yang kerjaannya kalo nggak ngeluh, ngomel, ngeluh, ngomel, ngegerutu, males-malesan... Kenapa gue bisa bilang demikian? Well, akan ada saatnya lagi untuk aku bercerita khkh. Sampai jumpa lagi!

4.08.2016

Jangan Bermain dengan Api

Ibu bilang jangan main api
Rasanya panas dan kamu terbakar
Ayah bilang jangan main api
Kecil ia kawan, besar berbalik melawan
Aku bilang kamu jangan main api
Siapa sangka kamu terbakar tapi lupa bagaimana memadamkan

4.07.2016

(Hanya) Pengingat

Entah ada apa dengan hari(-hari) kemarin.

Ya, gue menulis ini pada tanggal 6 April dan kejadian ini terjadi pada tanggal 5 April (dan kemudian nge-post ini 7 April, wew -_-). Gue sedang berada di sebuah restoran cepat saji, menunggu waktu mengajar sambil mikir-mikir buat skripsi. Kemudian handphone gue berbunyi. Ada panggilan dari nomor tidak dikenal. Tadinya gue hampir mengabaikan telepon tersebut. Tapi gue pikir, ya coba ajalah diangkat, barangkali penting. Intinya, setelah gue mengangkat telepon tersebut, gue ditawari sebuah pekerjaan idaman gue. Gue sudah melamar pekerjaan ini sejak berbulan-bulan lalu sebenarnya, sampai gue sendiri udah lupa karena memang nggak ada email balasan dan gue sudah pasrah aja.

Kemudian si penelpon menjelaskan perihal dari mana ia menelpon dan gue ditanya apakah masih tertarik dengan pekerjaan tersebut. Wah, spontan gue jawab, masih tertarik. Pekerjaan yang gue idamkan (bisa dibilang demikian), di perusahaan yang gue pikir juga baik. Gue menjelaskan bahwa kondisi gue saat ini sedang skripsi dan masih ngambil kelas di perkuliahan, jadi untuk masuk full-time lima hari seminggu dan jam kerja itu agak perlu dipertimbangkan. Awalnya si penelpon berkata, nanti coba ditanyakan dan akan dikabari kelanjutannya. Well, gue awalnya sudah berekspektasi tinggi, bahkan sudah berandai-andai kalau diterima. Mungkin asyik. Kemudian ya gue mengakhiri telepon tersebut.

Di hari yang sama, pada akhirnya gue dikabari kembali bahwa gue tidak bisa mengisi posisi tersebut karena gue harus masuk full-time di kantor, yang berarti dengan status gue yang masih mahasiswa ini belum memungkinkan. Hm... bagaimana gue mendeskripsikan perasaan gue? Kacau. Haha... enggak kacau-kacau banget sih, tapi ibaratnya gue semacam kiper yang sudah memegang bola di tangan, tapi gue malah melakukan blunder dan bola itu terlepas, masuk ke gawang sendiri. Gue sih awalnya oke-oke aja pas di tempat itu. Tapi gue kembali berpikir, duh God, kok rasanya aku ini belum berhasil melakukan apa-apa ya. Teman-temanku yang lain udah pada kerja, magang, kayaknya enak gitu. Aku ini masih miskin pengalaman. Ada kesempatan buat mendapat pengalaman, malah lepas begitu aja :(

Sebenernya, bukan hanya hal ini aja yang terjadi dan membuat gue sempat kehilangan harapan akan banyak hal. Ada satu hal lain lagi yang tidak bisa gue ceritakan di sini. Gue jadi merasa kenapa gue nggak bisa menggapai A, B, C, D, dst... banyak hal yang gue inginkan tapi kayaknya terlepas begitu saja. Entah apakah gue yang kurang usaha atau memang sebenarnya hal tersebut memang sejak awal bukan buat gue kerjakan...

Sesungguhnya pagi itu gue mendapatkan bahan bacaan dari kitab Yeremia pada bagian di mana ia diutus sama Tuhan tapi ia menolak karena ia merasa ia masih muda dan nggak pandai berbicara. Tapi toh pada akhirnya Tuhan tetap suruh dia pergi, ke mana Tuhan suruh ia beritakan Firman Tuhan, Tuhan mau Yeremia tetap jalan.

Sebenernya dari bagian itu, gue mendapatkan bahwa kita perlu ketaatan sama apa yang sudah Tuhan perintahkan, dan kesetiaan pada perintah tersebut. Momen dimana gue tidak mendapatkan pekerjaan yang gue idamkan mungkin sebenarnya kasih yang Tuhan tunjukkan untuk mengingatkan gue buat setia dan taat sama apa yang akan Ia bukakan untuk gue ke depannya. Sekaligus, mungkin juga Ia mengingatkan bahwa gue masih punya tanggung jawab yang belum selesai gue kerjakan.