9.28.2016

Tentang Dia, Tentang Mereka

Gue merasa amazed dengan kehidupan ini terkadang. Bulan lalu saat wisuda, gue ketemu dengan temen masa sekolah yang kuliah di tempat lain dan pertemuan kami benar-benar tanpa disengaja. Minggu lalu, gue mendapat kabar seorang teman SMA gue akan menikah minggu ini, orang yang paling nggak gue sangka-sangka juga. Terakhir, malam ini, gue kembali kaget mendengar kabar tentang teman SMA gue yang pernah duduk di depan gue.

Gue pernah juga menceritakan dia di sini. Dia adalah si A. Malam ini, gue menerima chat dari teman gue, G. Dia menyebut-nyebut nama si A. Gue pikir apakah si G sedang sama si A, dan A membajak ponselnya? Kemudian G menyebut, "A meninggal, Le."

Gue kicep.

"Yang bener?"

Pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut gue.

Usut punya usut, cari punya cari, kabar tersebut benar demikian adanya. Kecelakaan. Gue semakin kicep. Sebenarnya, niat gue malam ini adalah membuat conference chat dengan teman-teman, gue termasuk G, I, A, dan An. Mau ngajak mereka untuk bareng pergi ke pernikahan seorang teman SMA gue, si B. Apalagi gue dan si An baru berkomunikasi untuk ngajak si A pergi juga.

Tapi ternyata takdir memang harus berkata lain.

Gue dan A ini termasuk akrab saat SMA. Ketawa bareng, nangis bareng, mengenang cinta yang lama bareng, cerita-cerita dari yang paling bikin ngakak, paling bikin nangis, paling bikin kicep, pernah kita bagi bareng-bareng. A adalah orang yang memeluk gue dan yang gue suka dari si A adalah dia orang yang gak pernah milih-milih temen sehingga gue nyaman aja berkawan sama dia.

Kita terakhir kali makan bareng itu tahun 2012, awal kuliah. Sampai saat ini, gue dan A tidak pernah bertemu lagi. Chatting pun jarang. Gue inget, suatu hari si A pernah telepon pagi-pagi. Intinya ngajak gue cabut karena dia lagi males. Permintaan itu nggak bisa gue sanggupi karena siangnya gue ada kuliah dan harus siap-siap dari pagi. Gue memintanya main aja ke UI, Depok. Tapi toh hal itu tidak terlaksana. Gue nggak pernah chatting lagi sama dia sejak saat itu. Gue selalu berpikir untuk nge-chat sekali-kali tapi gue selalu mikir juga "Nanti ajalah. Lagi ada kerjaan lain.". Sampai pada malam ini, nanti ajalah itu gak akan bisa gue wujudkan lagi.

Gue selalu punya beragam kesempatan dan tiap-tiap hari untuk sekedar nanyain kabar dia, say hi, atau bahkan gue bisa dengerin curhatan dia. Dari kejadian ini, jujur gue belajar satu hal. Nggak ada kata terlambat dan nggak ada kata nanti untuk menjalin komunikasi. Apalagi dengan kawan lama yang sudah kayak saudara lo sendiri.

When you have to say hi, just say it. When you can love, just love. When you can listen, just listen. Before it's too late and you'll never get the chance again.

Selamat jalan, sobat. Lo tau gue akan selalu kangen sama lo, gue kangen juga buat dipeluk dan meluk elo. Semoga kita bisa berpelukan lagi pada satu ketika.

9.26.2016

Berlari Kembali

Sejujurnya ini bukan pertama kalinya gue mendapat ayat Matius 11:28 dalam perenungan Alkitab. Berulang kali gue udah dapet ayat dari Matius 11:28. Bahkan saat masih sekolah dulu, ayat tersebut menjadi salah satu bagian Alkitab yang paling gue inget.
Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
Sesungguhnya, kehidupan gue tidak berjalan semulus itu akhir-akhir ini. Lelah karena pekerjaan di kantor, ada pekerjaan lain yang harus dilakukan di rumah, ada relasi dengan orang-orang yang harus dijaga, pelayanan... dan beban pikiran lainnya yang tidak bisa gue utarakan. Bukannya mau menyombongkan diri bahwa gue orang sibuk atau apa... tapi gue sungguh-sungguh merasa kegiatan yang gue lakukan di atas adalah kegiatan mekanis. Gue pergi pagi hari, pulang malam, pekerjaan rumah dikerjakan sampai  larut, tidur, bangun pagi, begitu lagi. Untuk duduk menikmati kesendirian dan "me & Him" time aja rasanya udah terlalu lelah. Gue tidak menikmati lagi apa yang dahulu sering gue lakukan sebelum berangkat kuliah.

Ketika gue sedang lelah-lelahnya, tentu gue mencari penghiburan. Gue main game di ponsel gue. Gue nonton drama. Gue nonton apapun yang bisa bikin gue tertawa. Hingga akhirnya waktu gue pun habis untuk hal-hal tersebut. Gue nyaris seminggu nggak pegang gitar, gue nyaris seminggu juga gak buka buku apapun. Kemudian, permasalahan mulai muncul ketika gue mengabaikan beberapa tanggung jawab yang seharusnya gue lakukan.

Oke, kondisi ini adalah latar belakang gue menulis post ini malam ini. Gue sudah berjanji ketika mendapat satu hal untuk dibagikan, maka gue gak akan menunda-nunda menulis. Jadilah gue tulis.

Pagi ini, ketika di jalan menuju kantor, gue mendapatkan ayat yang sudah gue kutip di atas. Gue terdiam dan berpikir. Berapa seringkah ketika lelah gue mencari Tuhan? Ketika Dia menjadi satu-satunya pemberi kelegaan, kenapa gue harus mencarinya dari dunia yang memberi lega hanya sementara? Kehidupan gue yang memang sedang melelah-lelahkannya ini mungkin jadi satu hal yang mau Tuhan kasih lihat buat gue, satu jalan bagi gue untuk kembali duduk bersama dengan Dia dan menikmati kelegaan yang Dia berikan. Istirahat yang Dia berikan.

Ketika kita berlari padaNya, menerimaNya dengan segala kerendahan hati, di situ kita diberikan kelegaan, menyadari bahwa dalam kehidupan dengan segala hal melelahkan di dalamnya, kita gak akan bisa berjalan tanpaNya.

9.16.2016

Pernah Marah?

Setelah kemarin gue merasa tidak punya bahan untuk ditulis, pagi ini, gue mendapatkan bahan untuk ditulis, pada akhirnya. Praise Lord.

Sebenarnya, semua bermula dari kejadian di hari Sabtu minggu lalu ketika seseorang (selanjutnya disebut X) mengingkari janji. Intinya kami beberapa hari sebelumnya berjanji dan membuat rencana untuk hari Sabtu, tetapi pada hari Sabtu yang sama, X harus melaksanakan hal lain, dan gue baru tahu. Sebagai salah satu pihak yang sangat menantikan dan menginginkan kenyataan berjalan mulus sesuai rencana, gue kecewa. Gue bersikap ketus ketika membalas pesan singkat dari si X. Alternatif lain yang ditawarkan si X pun gue tolak, juga dengan ketus. Gue merasa, "Gue tuh nggak berhak lo perlakukan seperti ini. Kalau janji ya tepati dong." demikian yang gue pikirkan saat itu. Pada akhirnya, mungkin X pun kesal juga sama gue, ya sama-sama kesal, sama-sama dingin. Satu hari itu pun gue bad mood.

Kejadian lain yang membuat gue menulis post ini terjadi hari Kamis pagi. Ada satu hal yang kurang gue sukai untuk lakukan, tapi harus gue lakukan, tanpa diberitahu atau ditanyakan dulu apakah gue mau melakukan hal tersebut. Ya pasti gue akan menjawab tidak mau. Tapi seandainya orang yang menyuruh gue melakukan itu bertanya dulu, mungkin gue gak akan melakukannya dengan bersungut-sungut, dan sampai marah. Gue marah karena merasa "Gue punya pendapat, kenapa nggak tanya pendapat gue dulu sih? Gue gak suka melakukan hal itu!", pikir gue lagi. Kemudian sepagi itu, gue kesal, rasanya gak ada satu pun hal yang benar yang gue lakukan. Tidak ada damai sejahtera ketika gue tiba di kantor pagi itu. Kemudian, hal itu berujung pada ketusnya dan dinginnya gue dalam menanggapi pesan-pesan singkat yang datang. Karena marah, ya.

Syukurlah, semuanya kini sudah teratasi.

Kalau gue kilas balik, sebetulnya alasan si X mengingkari janji harusnya bisa gue terima dengan pikiran terbuka dan hati yang lapang. Gue nggak perlu semarah itu sampai ketus dan dingin menanggapi pesannya karena mengikuti rasa kecewa dan kemarahan dalam hati gue. Sebetulnya kejadian di Kamis pagi pun harusnya gue syukuri karena hal yang gue terpaksa lakukan itu sebetulnya bisa membuat gue jadi pribadi yang lebih berani dan bisa menolong orang lain. Gue nggak perlu mengeluarkan kata-kata yang dingin kepada orang yang gue kasihi untuk memuaskan amarah gue.

Ketika amarah menguasai diri kita, kita jadi nggak bisa memancarkan apa yang harusnya kita pancarkan--kasih. Kita kebanyakan mengikuti perasaan marah kita dengan ketus, dengan dingin, merasa berhak untuk tidak diperlakukan demikian oleh pihak lain... hingga tanpa sadar ada pihak-pihak yang mungkin tersinggung dan tersakiti karena kita mengikuti emosi itu. Gue teringat cerita Kain dan Habel, ketika Tuhan mengindahkan persembahan Habel, dan Kain menjadi marah karena hal tersebut. Gue tidak tahu apa yang ada di benak Kain pada saat itu. Apakah ia merasa berhak untuk diindahkan persembahannya oleh Tuhan? Apakah ia merasa jerih lelahnya tidak dihargai sehingga ia marah? Gue pun tidak tahu. Juga belum memahami kenapa Tuhan bertindak demikian. Akan tetapi, satu poin yang gue dapat dari cerita ini, Kain yang marah kemudian membunuh Habel. Kemarahan bisa menuntun kita untuk melakukan dosa.

Ayat Alkitab yang menjadi perenungan gue pada pagi hari ini adalah Yakobus 1:20
sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. (Terjemahan Baru)
Orang yang marah tidak dapat melakukan yang baik, yang menyenangkan hati Allah. (BIS)
Ketika gue membaca ini, gue kembali mengingat saat-saat gue pernah marah kepada orang-orang di sekitar gue. Gue seringkali bersikap ketus dan mungkin mengeluarkan kata-kata tajam yang sudah melukai hati mereka. Padahal, seringkali gue bikin Tuhan marah, dosa lagi dosa lagi, tapi lebih sering lagi Dia menunjukkan belas kasihNya buat gue. Gue percaya bahwa ketika Dia sudah menunjukkan belas kasih, membuat gue menerima belas kasih, itulah hal yang harusnya terpancar dari diri gue untuk orang lain, bahkan ketika gue dibuat kecewa atau dibuat marah oleh orang lain, karena itulah yang menyenangkan hatiNya.

Sulit memang untuk nggak marah saat kita dibuat kecewa, karena itu tiap saat kita butuh Dia untuk melembutkan hati kita supaya dapat menunjukkan belas kasihNya sebagai ganti amarah...

Refleksi

Tulisan gue terakhir kali ditulis dan dipublikasikan pada tanggal 29 Juli. Sudah lebih dari sebulan. Sebenarnya gue banyak menulis di draf blog tapi karena tiba-tiba mengalami writer's block, kebanyakan tulisan itu tidak berbuah jadi satu post utuh. Kemudian gue menyesal karena tulisan-tulisan setengah jadi itu harus berakhir begitu saja, semi-nyampah, dan gue pun lupa sudah tujuan awal kenapa gue menulis draf dan apa yang sebenarnya mau gue bagikan. Sebetulnya, ini termasuk pelajaran buat gue juga. Gue bilang gue suka menulis tapi ternyata gue gak pernah menyempatkan waktu untuk menyelesaikan tulisan. Gue pernah janji mau bahas soal skripsi gue untuk jadi tulisan di blog, review film atau sejenisnya, namun semua pun berakhir jadi wacana tak terlaksana. Bahkan gue pun belum jadi mau buat post pascawisuda untuk sekedar berbagi kebahagiaan.

Sepertinya gue sekarang harus benar-benar menulis ketika punya waktu dan benar-benar menulis dari awal hingga akhir.

Dan... selamat, kita telah tiba di bulan September (lagi). Gue tadi sempat melirik draf-draf di blog dan gue tersenyum ketika menemukan sebuah post yang gue tulis pada tanggal 15 September 2015. Itu hanya sebuah tulisan gue yang sedang pusing memikirkan soal tugas di kelas Bahasa Itali yang gue ambil kemudian juga kegalauan menulis proposal skripsi. Setahun begitu cepat berlalu rupanya. Kemudian di sinilah gue saat ini, jadi semi-karyawan di sebuah perusahaan swasta, kalo kata dia, mengabdi pada dunia hahaha... Gue saat ini bekerja sebagai penerjemah di sebuah bakal perusahaan webtoon. Well, penerjemahan gue rasa selalu jadi passion gue, hanya saja, gue berpikir bahwa ada hal lain yang perlu gue capai. Entah kapan dan entah bagaimana caranya.