2.20.2017

3rd Day in Xin Jia Po (Singapore): Don't Get Wet, Get Lost. [Part 2]


Setelah di cerita sebelumnya kami kehujanan begitu keluar dari Mustafa, gambaran makan kari di Little India sambil menikmati indahnya sinar mentari pun luntur #yha terhapus lebatnya hujan. Okay. I love you, rainy day! I really do, but not that day. Semoga kali lain ke SG hari cerah berawan tak mendung. For people like us who traveled by foot (a lot), rain is such a bother (really). Hujan angin yang payung pun kadang nggak cukup buat menghadang... lumayan juga kemarin sepatu dan baju jadi korban.

Kembali ke hari itu. Akhirnya kami beli mi instan dalam cup di minimarket terdekat (lagi) dan nyeduh di lobi hotel. Hujan masih setia turun di luar sana saat kami mulai berpikir, harus ke mana selanjutnya. Gitta mau pergi ke Orchard Road, belanja buat mamanya, dan gue? I didn't feel like going to Orchard. I don't really like crowd. I don't really like shopping. So, Orchard isn't my style. Akhirnya gue dan Gitta memutuskan buat pergi masing-masing. Gue bakal bosen banget buat menghabiskan sisa hari itu di hostel. It was such a waste to spend the rest of the day doing nothing, apalagi cuma karena hujan. Bobo cantik mah di rumah sendiri juga bisa. Jadi, gue akhirnya memutuskan untuk pergi ke Alexandra Road. I need to check on the location of the church I'll attend on the next day and after that, well... maybe back to the hostel or exploring Chinatown for a bit. Itu rencana gue sebelum gue naik MRT, dan apa yang terjadi setelahnya? Bacalah~


So, we parted ways in Chinatown Station after promised each other to meet at hostel lobby around 7.30 p.m for dinner. From now onward, I'll be alone for couple of hours, without internet, GPS, or maps. I followed signboards and my instinct. So, the adventure, began!

Walaupun cuma ke Alexandra Road untuk ngecek lokasi, gue merasa perlu juga menceritakan ini di sini karena ini termasuk salah satu bagian yang udah gue rencanakan ketika ke SG, buat visit gereja di sini. Untuk pergi ke sana, bisa naik MRT jurusan Joo Koon (East West Line) dan turun di Redhill Station. Well, it didn't take long, gue cuma perlu sekitar 10-15 menit dari Chinatown (tentunya setelah transit di Outram Park) untuk sampai di Redhill. Dari Redhill, gue bertemu persimpangan. Mamam. Gue selalu panik kalo udah ketemu persimpangan. Exit A atau Exit B? Yang satu mengarah ke jalan raya, yang satu lagi mengarah ke area kebun luas mirip kalo kita turun di Stasiun Kampung Bandan. Yah... gue ga punya peta. Jadi... ketika insting gue bilang untuk keluar ke area kebon itu, ya gue jalanlah. Syukurnya... setelah melewati belakang apartemen, pinggiran jalan raya yang sepi (karena hujan), gue menemukan lokasi gereja yang gue tuju, tepat di pinggir Alexandra Road (lupa nomor berapa). Setelah masuk ke dalam gereja dan nanya ada ibadah jam berapa, kunjungan gue hari itu selesai. Gue memutuskan untuk kembali ke Redhill.

After going back to Redhill Station, a not-so-wild idea popped out. Kalau di Jakarta, gue sering naik kereta hingga ke stasiun terakhir, yaitu Stasiun Kota and it is a nice idea for me to refreshed my mind up so, why don't I try to ride the train until the last station (which is Joo Koon)? Kali aja Joo Koon punya efek refreshing yang sama dengan Stasiun Kota (pikir gue). Kali aja juga bisa nemu tempat wisata buat turis yang gratis di sana. Kemudian, gue yang sok tau ini naik kereta aja langsung ke arah Joo Koon. Eh tapi eh tapi... kok sepanjang jalan gue cuma ngeliat apartemen sama jalan raya sepi aja ya? Hm... kemudian gue berpikir saat tadi gue sampai di Redhill pun, sekitar gue cuma ada gedung apartemen. Apakah mungkin daerah Singapura bagian ini memang diperuntukkan untuk residential area? Jangan-jangan kalau ke Joo Koon gue malah gak menemukan apa-apa, yang ada malah nyasar tanpa peta, jauh lebih bahaya. Walaupun banyak yang bilang Singapura lebih kecil dari Jakarta, bayangan nyasar di negeri orang tetap aja menyeramkan. Lah nyasar di Jakarta aja udah serem, ini lagi di negeri orang.

Akhirnya, setelah berpikir dalam kereta, gue pun turun di Commonwealth Station. Gue memperhatikan peta jalur MRT. Ke mana ya enaknya? Aha... bagaimana kalau sekali lagi gue ke Esplanade Park atau ke Merlion? Gue nggak pernah bisa lupa sensasi sore-sore di Esplanade Park sambil melihat view skyline yang mantap jiwa. Gue nggak masalah kalau cuma duduk berjam-jam, olahraga kaki menyeberangi jembatan pun ga masalah, gue suka hal-hal simpel semacam ini. Akhirnya, dengan semangat lagi gue kembali naik MRT ke arah sebaliknya, yaitu arah Pasir Ris. Gue lupa kalau kondisi saat itu lagi hujan dan nggak mendukung untuk duduk di taman #yha. Satu lagi yang gue lupa, gue lupa harus turun di mana kalau mau ke Esplanade dan Merlion Park. Jadi, gue seingetnya aja, seinget gue bisa turun di City Hall. Ah, sudahlah, gue naik dulu aja.

Untungnya, gue gak perlu transit lagi kalau mau ke daerah sana. Cukup duduk manis di atas kereta relasi East West Line dan turun di City Hall. Sesampainya di stasiun, gue langsung ngecek locality map. Satu hal yang gue senangi dari negara ini, di semua stasiun ada peta yang menunjukkan daerah di sekitar stasiun, ada juga lokasi tempat wisata yang bisa dituju turis, plus ditunjukkin pula harus exit dari mana. Semoga nanti MRT di Jakarta kayak gini juga yak. Locality map membantu gue selama perjalanan karena gak punya GPS, dan peta begini juga membantu orang-orang yang mungkin suka berkelana tanpa arah tujuan yang jelas. Kali aja, setelah melihat peta ini, kita tercerahkan mau jalan ke mana.

Dan sore itu, gue mendapat pencerahan. Bahwa Esplanade Park dan Merlion Park agak jauh lokasinya dari City Hall Station. The probability of getting lost is bigger without maps. Instead, I found a way to National Gallery Singapore. Sebenarnya, sebelum jalan ke sini, gue sudah memasukkan National Gallery Singapore ke dalam daftar tujuan. Tapi, karena itinerary makin panjang, pun perlu menyesuaikan dengan budget dan lama tinggal, tempat ini tergusur dari daftar. Mungkin ini yang namanya pucuk dicinta ulam pun tiba, mungkin ini yang namanya jodoh #yha.

Oh ya, gimana Le caranya bisa sampai ke National Gallery Singapore? Gue cuma mengikuti papan penunjuk. Hahaha... 80% ngikutin papan penunjuk, 20% insting. Gue bahkan nggak inget apa nama jalannya. Cuaca masih hujan sekeluarnya gue dari stasiun. Untungnya, keluar dari stasiun, gue nggak perlu pakai payung. Trotoarnya beratap yow. Jadi, buat yang udah takut kebasahan, gak perlu khawatir. Becek-becek dikit doang kok, sisanya kepala terlindungi dari tetes air hujan :D. Gue cuma menyusuri trotoar dan nggak banyak foto. Gue juga menyesali keputusan gue nggak banyak foto hari itu. Jadi, setelah kecapekan di hari sebelumnya, pundak udah sakit juga, untuk jalan-jalan sendiri ini gue nggak bawa kamera lagi karena gue pikir toh gue juga gak bakalan lama berada di luar ruangan, plus kondisi hujan. Akhirnya gue cuma berbekal kamera ponsel iPhone 4 jadul ini. Tapi, gue jadi bisa bener-bener nikmatin waktu itu, gue bener-bener bisa nge-save apa yang gue liat dengan mata kepala ini sendiri haha...

Ternyata setelah gue browsing hari ini, National Gallery Singapore ada di Saint Andrew's Road. Pantesan, hari itu gue menemukan gedung katedral yang kelihatan bagus banget di dekat daerah galeri dan namanya St. Andrew's Cathedral, sesuai dengan nama jalan di situ. Gedung katedral warna putih ini dikelilingi hamparan rumput hijau, yang kalau gak hujan, udah pasti gue mampir-mampir buat foto dah. Maybe next time ya. Jalan kaki dan jalan kaki, nyebrang-nyebrang, dan yeah, tibalah di National Gallery Singapore.

Begitu masuk, mata gue dimanjakan dengan gaya arsitektur gedung yang wahaw. Macem istana. Dominasi warna putih dengan gaya Eropa gitulah. Ya ini kesotoyan gue aja karena gue bukan anak arsitektur. Karena gue nggak mendapatkan petunjuk di mana pintu masuknya, gue akhirnya memutuskan buat nanya ke petugas yang ada. Dari petugas ini, gue mengetahui bahwa National Gallery Singapore masih buka (waktu menunjukkan pukul 5 sore saat itu), dan harga tiket untuk turis non-penduduk Singapura adalah S$20. Iya, 20 dolar, lebih mahal daripada National Museum of Singapore. Gue akhirnya cuma mengangguk-anggukkan kepala dan nanya dengan muka melas, "Where can I go without ticket?". Gue menyayangkan S$20 hanya untuk menunggu malam di sana, mending gue jalan-jalan gratis aja dan memakain uangnya buat hal lain. Untungnya, si mbak-mbak penjaga gak men-judge gue dengan pandangan "dasar turis kere!", dia tersenyum ramah dan menawarkan untuk melihat pameran Kembara Tanah Liat (pameran hingga 28 Februari 2017!) juga menyarankan gue melihat-lihat Keppel Centre for Art Education (kids will love this) and well, just take a stroll inside the wide-space-area in the building.

Gue akhirnya pergi mengunjungi pameran Kembara Tanah Liat terlebih dahulu. Jadi, pameran ini adalah untuk memamerkan karya Iskandar Jalil dan hasilnya adalah berupa keramik-keramik gitu. What I like from here, most of his art were colored blue hehehe...

Gue gak banyak foto karya seni karena gue nggak yakin boleh foto atau enggak hehe... Untuk masuk ke pameran ini, gue cukup menuliskan nama gue di buku tamu, hitung-hitung sekalian memperkenalkan nama Indonesia B-).

Waktu gue ke sini, cuma ada beberapa bule yang lagi melihat-lihat, suasananya sepi, mungkin juga karena sudah sore. Akhirnya, gue cuma sebentar di sana dan keluar. Walaupun nggak bisa masuk ke galeri, jujur, mata gue udah cukup termanjakan dengan interior gedung yang indah banget.

Correct me if I'm wrong, but he is Raffles, isn't he?  
 Nah, ada tangga yang kalau dilihat dari jauh semacam membentuk lukisan begitu. Bener nggak ya itu Raffles? Well, tebakan gue sih demikian mengingat di Singapura, Raffles benar-benar dihormati, mungkin karena dulunya Singapura dikuasai Inggris, diberdayakan, dimajukan, di bawah pimpinan Raffles.

Salah satu bagian dari National Gallery Singapore adalah Keppel Centre for Art Education. Ini sebenarnya lebih cocok untuk jadi tempat main bocah sih. Kenapa? Foto-foto berikut akan menjelaskannya.


salah satu karya seni di dalam Keppel Center. Bocah banget yegak? Cocok buat iklan bis*uat.
Di dalam Keppel Center ini, anak-anak seolah dibawa masuk ke dalam dunia kreativitas dengan berbagai warna yang ceriakan harimu (#iklan). Jadi, salah satu ruangan yang ada lukisan macan di atas tadi, gak hanya sekedar berdiri begitu, tapi lukisan itu benar-benar dilukis di dinding. Ada juga mainan ular tangga yang dilukis di lantai, seluncuran, meja kursi buat anak-anak duduk, pokoknya kalau masuk ke sini, berasa masuk ke TK, bahkan lebih unik daripada TK.
Karya seninya anak-anak
Kalau kita bergerak ke ruangan lain, kita bisa nemu karya anak-anak, entah bikin bus dari kertas, pesawat-pesawatan... dan di bawah ini... adalah cara anak-anak mendefinisikan apa itu rumah bagi mereka.

menggembel di galeri. meh.
Keppel Center ini lumayan luas juga, di sini ada aktivitas juga buat anak-anak, berbayar tentunya. Bolehlah om tante yang mau anak-anaknya main sambil menambah kreativitas diajak ke sini. Selepas dari Keppel ini, gue kemudian berpikir apakah gue harus pulang? Tapi di luar hujan masih mengguyur. Mau jalan ke mana juga bingung. Waktu masih menunjukkan pukul setengah 6 sore. Gue udah sempet berdiri di luar gedung galeri (yang ternyata nyambung sama City Hall), sampai gue disamperin sama petugas dan terjadilah percakapan seperti di bawah ini.
Percakapan setelah diterjemahkan dengan bahasa sendiri:
Petugas: Tunggu di dalem aja Mbak, daripada di luar.
Gue: Oh iya Mbak... (masuk ke dalam gedung lagi)
Petugas: Mbak orang Singapura?
Gue: Ah enggak kok Mbak. Bukan penduduk sini, lagi berkunjung aja.
Petugas: Wah iya? Mbak bisa berkunjung ke atas tuh. Ada skybridge, terus bisa lihat-lihat beberapa ruangan juga.
Gue: Eh iya? Gratis nggak Mbak?
Petugas: Gratis kok Mbak, tapi ada beberapa yang perlu tiket galeri sih. Nanti perhatikan aja tandanya.
Gue: By the way, mbak di sini bisa wifi ya?
Petugas: Oh iya, bisa. Tinggal isi alamat email aja Mbak.
Mendengar kata gratis, tentu gue langsung cabut setelah mengucap terima kasih. Tak lupa setelah mengaktifkan koneksi dengan WiFi dalam gedung ini. Setelah baca-baca informasi, gedung National Gallery Singapore ini dulunya adalah City Hall & Supreme Court. Peresmian gedung ini untuk jadi galeri nasional juga baru dilakukan pada tahun 2015. Oh ya, skybridge yang tadi disebut sama mbak petugas di atas adalah jembatan yang menghubungkan antara City Hall dengan Supreme Court. Gue sendiri hanya melintas sampai ke tengah jembatan itu untuk ngambil foto, kemudian balik arah karena takut nyasar di gedung yang luas banget itu hehe... Karena nggak sempet ngambil banyak foto, lebih lengkapnya supaya bisa lihat sekeren apa sih gedung itu, sila klik link berikut.


Setelah puas keliling-keliling tak jelas di dalam gedung yang arsitekturnya bagus banget itu, gue memutuskan menyudahi jalan-jalan hari ini. Yang jelas gue puas karena sempat berkunjung ke tempat yang gue emang pengen kunjungi walaupun gagal duduk cantik di Esplanade, hiks.

Gue kembali menaiki MRT menuju ke Chinatown dan menunggu temen gue di lobi hostel untuk makan malam bareng. Setelah kenyang makan malem dengan roti isi sevel selama dua hari, malam itu, kita memutuskan untuk makan yang lebih proper. Kita pergi ke Maxwell Food Centre yang letaknya nggak jauh dari hostel. Sayangnya, gue udah terlalu lelah bawa-bawa kamera, jadi gak sempet foto lokasi, sempetnya foto makanan, seadanya pula.

Non-halal. Wonton Mee with Pork.
Nah... gue cuma makan nasi satu kali selama 4 hari tinggal di Singapura. Selain lagi nggak nafsu makan seperti yang gue ceritakan sebelumnya, bakmi bakmi di sini terlihat lebih menggugah selera dibandingkan nasi hainan. Salah satunya mi di atas. Non-halal sih itu yang gue pesan, tapi ada juga piliihan lainnya kok seperti udang misalnya... Nah, kenapa Wonton Mee jadi pilihan gue? Simpel sih, karena ini jadi menu rekomendasi dari tante gue. Rasanya apa? Bakmi babi. Hahaha... enak dan harganya worth-it. Sayang, gue lupa harga tepatnya. Oh ya, makanan ini bisa dipesan dalam porsi kecil dan porsi besar. Harganya berbeda tentu saja.

Popiah: Gado-gado lumpia.
Nah, rekomendasi dari tante gue adalah popiah! Hah? Popiah? Taunya Popeye tante. #yha
Intinya popiah ini semacam snack yang kata tante gue nggak bisa ditemuin di Indonesia. Popiah terbuat dari lumpia yang kemudian diisi dengan sayuran, macem kol, terus dikasih telur, pakai bumbu kacang kayakya, dan gue lupa apalagi yang ada di dalamnya. Saat memakannya, kesimpulan kita cuma satu: ini gado-gado yang dibungkus kulit lumpia. Lagi-lagi gue lupa berapa harga tepatnya. Pokoknya, makan malam gue hari itu menghabiskan S$ 6,25.

Setelah makan, barulah kita jalan-jalan di Chinatown untuk beli oleh-oleh. Kalau untuk makanan kita bisa belanja di Mustafa, tapi untuk cinderamata berupa barang macem kaos, gantungan kunci, tas, asbak, luggage tag, kita bisa beli di Chinatown, atau katanya kalo mau lebih murah lagi, bisa beli di Bugis. Tapi, kita pergi aja ke tempat yang dekat penginapan. Banyak barang yang dibandrol S$ 10 untuk 3 jenis barang. Hampir gue kalap hahaha...

Nah, total cost untuk hari ketiga ini sungguh terlalu kayaknya...
-Tiket masuk National Museum of Singapore = S$ 15
-Belanja Mustafa (cokelat) = +/- S$ 25 (struk hilang, jadi nggak bisa ngecek pastinya)
-Belanja Chinatown (souvenir) = +/- S$ 24 (yang ini nggak ada struk jadi cuma perkiraan)
-Makan di Maxwell = S$ 6,25
-Ramen minimarket = S$ 2,30

Total pengeluaran hari ketiga = +/- S$ 72,55 (what? 700k lebih?)

Iya, gue nggak nyangka bisa keluar sebanyak itu. Tapiiii... ini balik lagi sih ke setiap orang. Gue kebanyakan habis untuk belanja oleh-oleh, dan sebenernya bisa ditekan lebih lagi pengeluarannya.

Well, setiap hari di Singapura memang kita kena hujan, tapi... don't get wet, just get lost on the road hehe...

2 comments:

  1. Apa ini jalan-jalan nggak ngajak-ngajak???????

    No, nope. Scratch that.
    I am broke anyway. Lol.

    #MenangisDiBawahShower

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku...hanya ingin berlari sebentar dari kenyataan kehidupan 8-5 ini Mbak. #plak

      Delete