10.01.2015
Menghidupi Hidup
Bernafas seolah formalitas dan beraktivitas ternyata hanya jadi rutinitas.
Mengerikan.
Iya, buat gue ini mengerikan. Hidup yang katanya adalah anugerah, hidup yang tidak semua orang punya sampai dengan detik ini, justru terasa gue sia-siakan begitu saja. Gue membiarkan saja detik-detik gue di pagi hari berlalu malas. Gue tetap selow aja saat jam-jam siang hari membiarkan langkah-langkah gue tetap gontai menuju ke kampus. Dan saat sore, gue biarkan saja terbawa angin entah ke mana. Malam? Gue terjaga hingga dini hari, nonton dan main. Gabut sekali bukan? Mungkin buat beberapa orang, ini terlihat seperti menghidupi hidup. Tapi... enggak buat gue. "Mati" adalah kata yang mungkin terlalu kasar dan berlebihan, tapi itulah yang gue pikir bisa menggambarkan apa yang terjadi dengan hidup gue sekarang. Hidup yang mati. Paradoks.
Gue tidak tahu jelas ada apa dengan gue, sesungguhnya. Yang gue tahu selain hidup yang mati adalah gue mager. Bangun pagi, mager. Kuliah, mager. Ngajar, mager. Apa-apa mager. Memikirkan topik untuk skripsi? Jauh lebih mager.
Seminggu yang lalu, gue padahal membaca sebuah bagian dari kitab Pengkhotbah. Hidup adalah anugerah, hadiah dari Tuhan atas kerja keras kita survive. Seize life. Makan roti dan minum anggur dengan bersukaria, yang gue maknai sebagai menikmati berkat yang ada saat ini. Selain itu, bahwa apapun yang gue peroleh saat ini, apapun yang diberikan pada gue untuk gue lakukan, haruslah gue kerjakan dengan sepenuh hati. Begitu kurang lebih isinya. Gue mendapatkan Firman itu pada saat gue memang sedang mager-magernya seperti saat ini. Tertegur dan tertegun.
Tapi... sejak baca itu, gue hanya bertekad menghidup hidup selama lima menit, sebelum akhirnya gue dikalahkan rasa ngantuk dan tertidur hingga siang hari.
Gue tidak tahu apa yang salah dengan diri gue sehingga gue bisa mager seperti saat ini. Gue nggak ingin hal ini berlangsung lama dan akhirnya merembet ke mana-mana, apalagi terjadi disaat gue justru berkomitmen untuk melakukan berbagai hal.
:(
9.19.2015
"Lupa"
Ada beberapa hal yang sebaiknya memang tidak perlu dipikirkan kembali.
Aku ingin lupa.
Sederhana saja.
9.15.2015
Tiba-tiba sudah tiba di pertengahan bulan September. Waktu benar-benar berjalan cepat. Mungkin sebentar lagi sudah akan ditagih draf skripsi atau draf proposal. Atau sudah mulai ditanya, punya rencana apa ke depan.
Dan jawaban gue adalah... gue belum kepikiran apa-apa. Sedih uga. Rasanya kok hidup jadi sekedar nafas dan beraktivitas tanpa tujuan jelas. Ya... walaupun gue mengetahui grand design apa yang Tuhan ciptakan buat gue, tapi ada kalanya gue berpikir... "What am I supposed to do here?". Ditambah dengan perasaan belum mendapat cukup ilmu selama kurang lebih tiga setengah tahun menimba ilmu di tempat ini... semakin melengkapi kegamangan akhir-akhir ini.
Waktu maba, gue nggak pernah kepikiran akan bikin skripsi, pakai toga, lulus, kerja... waktu maba, gue hanya merasa empat tahun adalah waktu yang lama, masih bisa haha-hihi, masih muda... tanpa terasa... waktu menggerogoti dirinya sendiri dan tiba-tiba saja sebentar lagi semua berlalu seperti kedipan aja. Harus nulis skripsi, kemudian pakai toga, kemudian harus kerja, kalau mau dan kalau bisa kuliah lagi... dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin tiba-tiba gue ngedip dua kali, gue sudah berada di suatu tempat di bumi ini sedang menikmati liburan.
Apalah gue mencoba merancang-rancang rencana hidup saat rencana untuk buat self-introduction dalam Bahasa Italia yang harus dilakukan pagi ini pun belum gue lakukan -_-
8.23.2015
7.26.2015
Dilan
7.18.2015
Perjalanan
Aku sibuk bercumbu dengan segala rindu
Sembari menghitung waktu demi waktu
Kupeluk erat saja rindu itu
Dibiarkan tidak terucap dan tetap membisu
Sragen, 18 Juli 2015
Mungkin kita pernah berjumpa
Pada satu sore di satu masa
Mungkin kita tidak bertegur sapa
Karena tidak terbersit kita dapat saling menjadi makna
Mungkin dua pasang mata kita pernah saling beradu
Tapi delima masih terkekang oleh bisu
Mungkin... siapa yang tahu?
Mungkin kita pernah bertemu tapi mungkin tidak pernah saling tahu
Surakarta, 19 Juli 2015
7.06.2015
7.04.2015
6.30.2015
Petuah
6.24.2015
Marah yang Sia-sia
Gue sedang berkomunikasi dengan seorang teman yang sudah lama tidak gue temui. Dia termasuk teman diskusi gue yang paling asik sekaligus teman yang gue maksud dalam hal yang membuat gue marah itu hehe... ironis ya?
Gue menawarkan dia sebuah pelayanan pada awalnya dan ujung-ujungnya kita malah membahas hal yang paling sensitif (menurut gue) dan sebenarnya paling nggak mau gue bahas.
Ia awalnya berada dalam sebuah lingkungan yang sama dengan gue. Di mata gue, dia termasuk salah satu sosok yang berpengaruh di lingkungan awal ini. Sampai suatu kali, ia berkata bahwa ia akan keluar dari lingkungan ini. Bersamaan dengan keluarnya dia, keluar pula beberapa orang yang gue tahu cukup dekat dengan dia. Hal yang membuat gue marah adalah saat dimana dulu ia ikut mempertanyakan dan ikut membicarakan orang-orang yang keluar dari lingkungan ini. Dan ia berujung menjadi orang yang sama juga. Gue kecewa. Tapi mungkin kekecewaan gue hanya karena gue akan merasa ditinggalkan sendirian dengan hal-hal yang bermasalah ini.
Tapi, sejak semalam gue merenungkan, kemarahan gue ini sia-sia. Karena pada intinya, dia menyatakan bahwa saat ini dia sudah berada di lingkungan baru yang mampu membuatnya bertumbuh dan mampu membuatnya belajar lebih banyak dibandingkan di lingkungan awal kami. Ia bercerita kalo dia keluar dari tempat sebelumnya karena ia tidak bertumbuh dan tidak punya sosok untuk dipanut. Dan sejujurnya, gue lega mendengarnya. Ia keluar untuk sesuatu yang lebih baik. Kemarahan gue pun jadi sia-sia saja. Kemarahan gue padanya (dan pada mereka) tidak membawa gue lebih baik, malah membawa gue berpikiran negatif, bahkan sempet mikir yang bukan-bukan soal dia. Kemarahan gue tergantikan dengan kelegaan.
Gue sekaligus merasa ditegur juga. Gue cuma bisa marah tanpa bisa melampiaskannya pada hal-hal yang baik. Gue cuma bisa marah, tanpa bisa melihat secara objektif apa alasan seseorang melakukan sebuah hal. And He once again asked me back, "Masih mau marah-marah lagi padahal kamu tau temenmu sekarang keadaannya jauh lebih baik?"
--
6.22.2015
x
Buat saya kamu tetap misteri
Di balik malam jawaban tentangmu tersembunyi
Dan sayang pula tidak terjawab oleh datangnya pagi
Kadang kamu jadi orang yang kurindu setengah mati
Kadang kamu jadi sosok yang paling ingin kubenci
--
Jakarta, 22 Juni 2015
(ada pertemuan dan rindu yang harus ditunda, untuk menghidupkan rasa yang lebih besar lagi. Malam.)
6.15.2015
6.05.2015
Senja hari ini menawan
Semburat jingga malu-malu
di balik kaca-kaca angkuh pencakar langit
Berhias lampu-lampu merah oranye di atas aspal hitam
Tanpa hujan hanya angin
Dan gelap yang kian lama merasuki lembayung
Menjelma jadi permadani tanpa batas
Wajah lelah penuh penantian di seberang
Harap cemas menunggu tumpangan
Kembali pulang
6.02.2015
5.21.2015
jarak
untuk bisa dikatakan berjarak?
apa kita perlu tidak bertemu dulu
untuk bisa dikatakan berjarak?
-
aku mencoba mengartikan apa itu berjarak
ketika dua pasang mata saling bertemu
ketika dua delima tersenyum kaku
dan kata-kata ditenggorokan membeku
serta diam menjadi sebuah ketidaknyamanan yang terus memeluk
aku telah mengartikan 'berjarak'
5.11.2015
Jawaban dari Pertanyaan
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya... Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. (Pengkhotbah 3:11)Sederhana, menusuk, greget.
Semuanya karena banyak hal yang dirasa selalu tidak tepat pada waktunya (pada waktu saya).
Tapiiii... this is His answer.
Belakangan ini kalau mengingat-ingat beberapa hal, saya bertanya, "Kok gini sih? Kenapa sih setidak beruntung ini? Kenapa sih kok A, kenapa sih kok B, kenapa kenapa kenapa?"
And this is it.
5.10.2015
5.03.2015
"Belum." :)
Biar Kau yang jadi sumber bahagiaku
Biar Kau yang jadi penghiburan
Biar Kau yang setia temaniku
Biar aku sanggup menanti
Biar aku rela berserah hati
4.27.2015
tiba-tiba aku tidak lagi cinta pada malam dengan mendalam. pudar. aku tidak suka saat pagi menyambut. namun matahari seolah memberikan harapan dibanding hitamnya langit dan embun memberi wangi yang baik dibanding suara jangkrik. malam menjadi begitu menjemukan, walau aku tidak bisa menampik megahnya kilau bintang. pagi menjadi begitu menjanjikan, walau aku kembali diserahkan pada derap rutinitas. aku merindukan pagi, namun masih tidak bisa melepas jerat malam.
4.23.2015
4.13.2015
3.25.2015
an introvert's letter
sometimes i found my serendipity
sometimes too i found my glee
if i'm lucky i found my remedy
3.21.2015
autumn.
bergantung ia pada ranting
kuning, memerah, kemudian cokelat
dan ketika matamu berkedip
angin melenyapkan kekuatannya yang terakhir
menyapunya jauh
saksinya adalah langit biru tak bernoda
ditemani mentari hangat di pucuk sore
tak ada yang tahu
ke mana angin menghembusnya pergi
ia gugur dan mati
agar yang kemudian dapat hidup
dalam peluk musim semi
3.19.2015
3.15.2015
Kalian yang pernah membela mati-matian, kalian yang bahkan turut tertawa dalam ironi dan ikut bertanya saat orang lain melakukan perpindahan seperti yang kalian lakukan saat ini, ternyata sama saja, bukan?
Di ujung hari, aku malah ingin bertanya, sekarang siapa yang harus aku tertawakan? Orang tersebut? Atau kalian?
3.12.2015
Baru Kusadari...
3.10.2015
3.07.2015
2.28.2015
2.14.2015
pandangi langit sore ini
Sore ini bukan lembayung
Kelabu dan mendung
Lepas rinai yang turun
Mataku dan langit beradu
Hitam dan putih tidak bisa menyatu
Tapi kenapa tercipta abu-abu?
2.07.2015
dengan kamu
dalam celotehmu aku ingin menjadi bagiannya
dalam tawamu aku ingin ikut serta
pun dalam sedihmu aku ingin turut larut
pun dalam pagi dan malammu jemariku dan jemarimu 'kan bertaut
dalam hidupmu aku ingin terus ada
dalam hidupmu aku ingin jadi makna
1.27.2015
realitas
manusia menggantungkan dirinya pada takdir
berharap pada keajaiban
untuk kemudian berserah pada kenyataan
2015.1.25
1.26.2015
dua sisi mata pisau
seorang teman bisa jadi seorang asing
waktu melahap kenangan, memori, kita yang dahulu
waktu membuat kita tumbuh, dan lupa sesuatu
seorang asing bisa jadi seorang teman
waktu menciptakan keterikatan
waktu membuat kita tumbuh, lupa, untuk bertemu
dengan segala yang baru
kadang, aku berpikir bahwa kamu
yang dinamai orang adalah waktu
sangat lucu
lucu
1.18.2015
januari
senyap mengikat
malam kian pekat
sunyi menyayat
hela nafasmu berat
mari sudahi hari ini
bisik nurani pelan dan pasti
kecuplah akhir dengan satu kata
ciumlah penghujung dengan sebuah pinta
kembali
2015.1.17
1.14.2015
what did i do?
Sumpah.
Saya jijik dengan tulisan saya sendiri :(
Kenapa coba, saya menuliskan link blog saya di sana?
Kalau ada yang baca bagaimana? Kalau ada yang tertawa? Kalau ada yang merasa? End of me (kamu berlebihan, Le.)
Tapi sungguh, benarkah saya menulis sedemikian rupa hingga puisinya jadi seasin keju dan semanis gula batu? Memangnya bagus sampai layak dibaca? :(
Kenapa kamu Le :(
-ranting at the dawn-
02.51
bulan terang menuju peraduan
surya masih sembunyi di balik kelam malam
di sana bintang kejora tak berkedip terpana
dengan hening dalam sepi tanpa frasa
mengecup malam dengan kata
menutup hari dengan sebaris doa
mengawali subuh dengan sebuah pinta
mengharap jawab saat terang menjelang
Kelak.