12.07.2016

Crazy Little Thing Called Love

Akhir-akhir ini gue agak malas membuka media sosial. Sebagian besar orang mungkin punya kemalasan yang sama setelah adanya beragam kemelut yang banyak di-posting orang. Banyak pula posting yang isinya menyebarkan perbedaan prinsip kemudian berujung membangkitkan amarah pihak-pihak tertentu. Gue termasuk pihak yang jujur saja sempat tersulut kemarahan. Sempat, karena setelah gue melihat banyak sisi dan mendengar pendapat berbagai orang, gue merasa kemarahan bukanlah opsi yang tepat untuk menanggapi beragam hal yang terjadi akhir-akhir ini.

Tapi pagi ini, gue membaca satu bagian Firman Tuhan yang menusuk sekali. Rasanya kemarahan gue semacam ditumbuk-tumbuk (?) ketika baca ini:
Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. (1 Yohanes 4:19 TB)
Wow. Kita mengasihi bukan karena orang yang kita kasihi baik sama kita. Kita mengasihi bukan karena orang yang kita kasihi itu kenal sama kita. Tapi kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Kita baru bisa mengasihi ketika Allah itu tinggal berhuni di dalam kita. Kita mengasihi sebagai wujud dari Dia yang tinggal dalam kita, Dia yang lebih dahulu mengasihi kita. Dengan kasih, Allah mau supaya anak-anakNya memancarkan Dia, Dia yang kasih. Pada siapa? Pada siapa saja. Bahkan pada orang-orang yang kita pikir nggak berhak menerima kasih, entah karena menyakiti hati kita, atau karena menganiaya kita.

Dengan kasih, kita menutupi banyak sekali pelanggaran. Bukan berarti ada sebuah kesalahan kemudian kita tutupi. Tapi kita dapat mengampuni dengan kasih. Sumber segala kemarahan dan kekecewaan kita itu seringkali berasal dari ketidak mampuan kita untuk mengampuni. Kasih membuat kita dimampukan, diberikan kemauan untuk mengampuni, walaupun kelihatannya sulit. Tapi kasih selalu punya cara.

Di tengah-tengah situasi saat ini, sulit pasti untuk menunjukkan kasih lewat kebaikan pada orang-orang, tapi ketika apa yang dilakukan based on love, selalu ada cara untuk menunjukkan kebaikan tersebut pada orang lain. Gak sekedar sama orang yang kita kenal, gak sekedar sama saudara seiman, tapi bahkan pada orang yang bukan seiman pun.

Kemarahan gak akan menyelesaikan suatu masalah. Kemarahan hanya akan membangkitkan amarah yang lainnya. Tetapi satu hal bernama kasih, sanggup buat meredakan amarah, sanggup untuk terus memancarkan kebaikan, selalu punya cara untuk memancarkan Dia dan semua hal yang baik dan benar...

I think, this is why people said, "Crazy little thing called love." Because love can make you forgive what others say can't, love can make you do everything others say can't. That's how crazy love is. 

And my God, is The Love itself. 

11.19.2016


After discussing about boy-girls-romantic relationship with one of my friend, I came to this conclusion... well, it might be different with what everyone else thinking about, but... this is what I've got.
The biggest temptation in a romantic relationship is not distance, it's lust.

11.14.2016

Movie: Before I Wake

Ya... posternya menurut gue sudah cukup horror...
Jadi hari Jumat yang lalu, gue iseng menonton sebuah trailer film berjudul "Before I Wake". Karena tokoh utama dalam film ini adalah seorang anak yang punya gangguan tidur dan gue kadang juga susah tidur, jadilah gue penasaran. Ngomong-ngomong, gue bukan orang yang berani nonton film horror atau thriller, tapi film ini mengusung genre horror, fantasi, dan supernatural.  So... I faced my fear when I decided to watch this movie. Karena gue penakut, gue akhirnya menonton film ini saat istirahat siang bersama dengan teman-teman di kantor.

Cerita "Before I Wake" dimulai dengan Cody, anak laki-laki berusia 8 tahun yang sudah tidak memiliki sanak keluarga satupun. Ibunya meninggal saat ia masih kecil dan akhirnya, ia diasuh oleh keluarga Hobson. Keluarga Hobson, yakni Tuan Mark dan Ibu Jessie, baru saja kehilangan anak laki-laki mereka, Shawn, karena sebuah kecelakaan. Cody ini anaknya manis, mandiri, dan dia punya sebuah keistimewaan. Keistimewaan Cody adalah saat ia jatuh tertidur dan bermimpi, mimpi Cody akan menjadi kenyataan. Awalnya, mimpi Cody di rumah keluarga Hobson adalah mimpi-mimpi yang indah sehingga membuat takjub Mark dan Jessie. Bahkan melalui mimpi Cody, mereka bisa kembali bertemu Shawn yang sudah tiada. Namun, tidak selamanya Cody bermimpi indah. Mimpi Cody berubah menjadi mimpi buruk yang kemudian mengancam orang-orang di sekitarnya. The Canker Man, adalah momok menakutkan yang berasal dari mimpi buruk Cody dan bisa melahap orang-orang di sekitarnya. Hingga akhirnya pada suatu malam, The Canker Man melahap Mark. Mulai saat itu, Jessie mulai mencari latar belakang Cody dan keistimewaannya.

Yang akan gue tulis berikutnya adalah opini gue setelah menonton film ini. Jadi, ini penilaian yang sangat subjektif dari orang yang tidak terbiasa menonton horror.

Film ini tidak terlalu menakutkan untuk dikategorikan sebagai film horror. Setannya, yaitu The Canker Man, menurut gue tidak terlalu menyeramkan (tapi horror juga bro kalo didatengin doi sambil dibisikkin "I will always be with you."). Ketika menonton film ini, teman gue yang bisa nonton horror justru ketiduran, mungkin dia bosan. Awalnya kita juga bakal bosen sama ceritanya karena ya... mengalir aja, pun setannya gak muncul-muncul. Film ini nggak membuat kaget seperti film horror pada umumnya. Sosok menyeramkan yang muncul juga munculnya semacam monster di film kartun anak-anak... Cuma ya aura-aura rumah dan suasananya aja yang seram (?). Tapi... gue sendiri tidak menyesal menonton film ini hingga mencapai konklusinya di akhir. Thanks to cutie Cody yang menggemaskan juga...
That eyes <3
Konklusi yang gue dapat adalah bahwa monster yang selama ini kita pikir ada dari luar diri kita, sebenarnya diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Monster ini mengganggu dan menakuti kita karena mungkin sebuah ingatan yang terus melekat dalam kita. Monster ini bisa jadi berupa asumsi-asumsi kita yang tidak berdasar, yang tidak  kita ketahui dengan yakin kebenarannya. Seperti Cody, karena tidak ada yang memberitahunya kebenaran, dan ia yang masih kecil mungkin juga tidak berusaha mencari tahu, ia terus aja berpikir bahwa The Canker Man adalah setan yang gak akan ngelepasin dia, padahal sesungguhnya The Canker Man adalah... yah, silakan tonton filmnya hingga selesai hehe...

Ketika kita sudah mengetahui kebenaran akan sebuah hal, kita akhirnya dapat mengendalikan pikiran-pikiran kita dari yang negatif jadi lebih positif. Dan ingat! Jangan kemakan asumsi!

Kalau boleh memberi nilai, film ini gue beri: 6/10 karena buat gue, pesan moralnya bagus banget dan trailernya juga bikin penasaran, walau mungkin untuk penggemar film horror, film ini mungkin bakal sedikit mengecewakan.

11.08.2016

Love Without Benefit(s)


Few days ago, my friend told me she found a quote and for me, it's an interesting one. This quote goes on like this: "If a man doesn't want a relationship, don't give him relationship benefits."

Sounds right.

Wait--but, what kind of benefits a relationship can provide you with? Assurance? Security? Affection? The feeling of  being wanted? I think everyone has different perception on this thing called relationship benefits.

Jujur saja, ketika teman gue mengatakan kutipan tersebut, gue seketika langsung mengingat produk asuransi, produk perbankan, dan segala hal yang berbicara tentang "jika Anda menjadi nasabah kami, Anda akan menikmati manfaat ini itu itu ini..." dan kemudian kita akan memilih bank atau asuransi mana yang memiliki manfaat yang kita pikir paling baik dan sesuai dengan yang kita butuhkan.

Apakah sebuah hubungan bekerja dengan cara demikian? Gue yakin setiap orang punya pendapat yang berbeda lagi tentang hal ini.

Well, I don't want to talk about this so-called relationship benefits and its correlation with boys-girls relationship or I will at the end of this post.

Satu hal lain yang gue pikirkan adalah apakah ketika mencintai kita, Tuhan mempertanyakan "Apa manfaat yang bisa Saya dapatkan dari menjalin hubungan dengan kamu?"

Seringkali aja gue bukannya "memberikan manfaat" buat Dia, tapi justru mengecewakanNya dengan berbagai hal.

But still, His love remains. And it never fails. Sometimes I think that probably He is ready with all the consequences when He decided to show His love to this world by coming as a human. He probably always ready to love without expecting benefits. The question is... do we as ready as He is to love without expecting benefits?

Before I posted this online, I asked some of my friends regarding their opinion about this. Some of them thought benefits are important to a relationship and one of them said to me "Honestly, we must have this unconditional love. To love without seeking benefits. But, still, people live and seek for it because we still want to fulfill what we need and what we want."

I pondered and talked to myself, "Probably, benefits are what we provided automatically when we love others."

Well this is just me blabbering over a quote and pouring what I've been pondering about.


10.08.2016

Heart Like Yours


Gue menonton film If I Stay sekitar satu tahun yang lalu. Sebagian besar orang-orang yang sudah menonton film ini bilang, "Sedih banget filmnya," atau "Gue banjir air mata nonton film ini!". Meanwhile, gue nonton itu dengan muka datar. Sedih sih, tapi bukan tipikal film yang bisa bikin air mata gue bercucuran seperti gue nonton Miracle in Cell No.7 (still the saddest movie I've ever watched! Recommended!)

Gue pikir konflik cerita If I Stay dimulai dari sebuah kecelakaan yang melibatkan seorang gadis bernama Mia Hall dan keluarganya. Ayah, ibu, dan adiknya Mia meninggal dalam kecelakaan tersebut dan Mia mengalami koma. Ketika dia koma, rohnya keluar dari tubuhnya dan ceritanya berlanjut dengan bagaimana ia melihat situasi keluarganya yang lain pada saat itu, kekasihnya, kehidupan masa lalunya, dan berbagai cerita lain. Gue mendapatkan pesan dari film ini adalah untuk menghidupi hidup sebaik-baiknya, mengasihi secinta-cintanya, melakukan passion se-passionate-passionate-nya (I don't know if I use the right term or not lol) karena tidak ada yang tahu kapan sewaktu-waktu kita bisa meninggalkan dunia ini.

Satu hal yang gue suka dari film ini adalah soundtrack-nya! Lagu mellow yang dipilih menjadi soundtrack untuk film ini bener-bener mantap. Nadanya easy-listening, mellow (terutama ketika didengerin pas hujan seperti hari ini #yash), dan liriknya sederhana tapi mengundang tanya yang mendalam (I don't even know what I've said lol). Soundtrack dari Willamette Stone yang berjudul Heart Like Yours adalah lagu yang paling berkesan buat gue, walaupun gue nggak terlalu suka-suka amat sama filmnya.


The lyric goes on like this:
Breathe deep, breathe clear
Know that I'm here
Know that I'm here
Waiting
Stay strong, stay gold
You don't have to fear
You don't have to fear
Waiting 
I'll see you soon
I'll see you soon 
How could a heart like yours
Ever love a heart like mine

How could I live before?
How could I have been so blind? 
You opened up my eyes
You opened up my eyes 
Itulah potongan lirik-liriknya. Bagian yang gue highlight adalah bagian yang membuat gue berpikir. Lagu ini memang lagu sekuler, tapi gue juga kepikiran satu hal rohani ketika mendengar lagu ini. Ketika gue dihadapkan pada lirik yang bertanya, "How could a heart like yours ever love a heart like mine?" gue teringat akan hati Bapa. Bagaimana bisa hati Bapa mencintai gue yang penuh keberdosaan ini? Bapa punya hati yang mengampuni dan terus rindu buat bersekutu sama anak-anakNya padahal seringkali gue mengecewakan hatiNya dan menyia-nyiakan kasihNya.
Come close my dear
You don't have to fear

...
Hold fast hope
All your love is all I've ever known
Sepenggal lirik di atas juga adalah bagian dari lagu Heart Like Yours. Sore ini gue kembali mengamati bagian ini. Bapa nggak menolaj kita untuk datang padaNya. Just like the lyric, "come close my dear", gue percaya bahwa Dia selalu mengundang kita buat kembali datang padaNya dan merasakan kasih itu. Kasih Bapa adalah satu-satunya harapan pasti yang akan mampu membuat kita berjalan melewati apapun.

Kesimpulannya, Heart Like Yours mengingatkan gue bahwa hati gue yang tidak pantas untuk dicintai oleh Bapa justru dicintai dan begitu dihargai olehNya dan undangan dariNya adalah untuk gue tidak takut datang mendekat padaNya (Ibrani 4:16). Amen.

---

Thank you to Wikipedia which has provided me with the information about "If I Stay", Genius.com for the lyric of "Heart Like Yours", IMDB.com for the theatrical poster of "If I Stay", and WaterTower Music (Youtube channel) for the video of "Heart like Yours"

10.06.2016

Bukan Promosi Film

He said, "Nih, biasa cewek kan suka nyimpen tiket nonton."
I like it when you talk to me about the rig or oil drilling.
I like it when you talk to me about wielding
I like it when you talk to me about engineering.
I like it when you talk to me about random things.
Being with you makes me learning.
.
.
.
Suatu hari, saat kami pergi nonton. dia melontarkan sebuah kalimat.
"Kenapa cewek suka banget nyimpen dan fotoin tiket nonton, sih?"
"Hahaha... iya ya... kenapa ya? Aku gak terlalu sering begitu kok."
Gue menjawab demikian. Akan tetapi, setelah kemarin menonton film bersamanya, gue kepikiran jawaban dari pertanyaan ini sembari mengingat tiket nonton yang gue simpan.

Gue masih menyimpan tiket nonton film Jurassic World tanggal 12 Juni 2015 di dompet gue. Cerita yang ada di balik tiket itu punya kesan tersendiri buat gue karena itu adalah film pertama yang kami tonton bersama. Setiap melihat tiket itu, gue akan kembali ingat seseorang pernah ngajak gue nonton film bareng selepas minggu ujian akhir kami selesai. Gue akan kembali ingat bahwa gue gak mau nonton film itu awalnya tapi gue mau karena dia yang ajak (eh? haha... bercanda).

Kemudian, tiket yang fotonya gue sertakan di atas.

Nonton film yang direncanakan sangat mendadak. Seinget gue, alasan dia ngajak nonton itu adalah supaya gue mengetahui dunia perteknik minyakan (?) intinya sih mengetahui soal kegiatan pengeboran minyak. Karena gue suka film-film demikian yang perlu sedikit mikir dan banyak aksinya, ya gue ayo aja. Kemudian, dia menjelaskan satu dua tiga beberapa hal tentang apa yang dia pelajari waktu kuliah dulu. Soal teknik dan juga mekanik. Gue pun iseng nanya soal pengelasan pipa bawah laut yang mana gue nggak ngerti bagaimana cara eksekusi pengelasan bisa dilakukan literally di bawah air karena las kan pake api? (I swear, logika gue soal pengelasan itu cetek banget dan gue baru tau kalo ternyata las nggak hanya bisa pake api aja -___-)

Gue gak cuma nonton film di atas itu untuk hiburan melepas penat sepulang kerja. Diam-diam, gue juga belajar, dan gue suka mengetahui hal-hal baru yang berseberangan banget sama gue. Karena itu, gue foto tiketnya, karena ada cerita di dalamnya yang mungkin buat beberapa orang mikir, "Yaelah Le, cuma dua lembar tiket yang bakal pudar tulisannya lo foto-foto?"
But for me, there is a story behind it :) Selain itu, nonton film yang kami lakukan kemarin itu membuat gue menyadari beberapa hal, yang sudah gue tuliskan pada bait pertama tulisan ini haha...

Gue memang tidak selalu memotret tiket film yang gue tonton (biar kekinian). Tapi mungkin, beberapa tiket nonton punya ceritanya masing-masing sehingga banyak orang yang kadang memotret tiket tersebut dan kemudian memperlihatkannya melalui media sosial mereka. Sebagai sebuah pengingat ada kisah di balik tiap tiketnya #haleh

9.28.2016

Tentang Dia, Tentang Mereka

Gue merasa amazed dengan kehidupan ini terkadang. Bulan lalu saat wisuda, gue ketemu dengan temen masa sekolah yang kuliah di tempat lain dan pertemuan kami benar-benar tanpa disengaja. Minggu lalu, gue mendapat kabar seorang teman SMA gue akan menikah minggu ini, orang yang paling nggak gue sangka-sangka juga. Terakhir, malam ini, gue kembali kaget mendengar kabar tentang teman SMA gue yang pernah duduk di depan gue.

Gue pernah juga menceritakan dia di sini. Dia adalah si A. Malam ini, gue menerima chat dari teman gue, G. Dia menyebut-nyebut nama si A. Gue pikir apakah si G sedang sama si A, dan A membajak ponselnya? Kemudian G menyebut, "A meninggal, Le."

Gue kicep.

"Yang bener?"

Pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut gue.

Usut punya usut, cari punya cari, kabar tersebut benar demikian adanya. Kecelakaan. Gue semakin kicep. Sebenarnya, niat gue malam ini adalah membuat conference chat dengan teman-teman, gue termasuk G, I, A, dan An. Mau ngajak mereka untuk bareng pergi ke pernikahan seorang teman SMA gue, si B. Apalagi gue dan si An baru berkomunikasi untuk ngajak si A pergi juga.

Tapi ternyata takdir memang harus berkata lain.

Gue dan A ini termasuk akrab saat SMA. Ketawa bareng, nangis bareng, mengenang cinta yang lama bareng, cerita-cerita dari yang paling bikin ngakak, paling bikin nangis, paling bikin kicep, pernah kita bagi bareng-bareng. A adalah orang yang memeluk gue dan yang gue suka dari si A adalah dia orang yang gak pernah milih-milih temen sehingga gue nyaman aja berkawan sama dia.

Kita terakhir kali makan bareng itu tahun 2012, awal kuliah. Sampai saat ini, gue dan A tidak pernah bertemu lagi. Chatting pun jarang. Gue inget, suatu hari si A pernah telepon pagi-pagi. Intinya ngajak gue cabut karena dia lagi males. Permintaan itu nggak bisa gue sanggupi karena siangnya gue ada kuliah dan harus siap-siap dari pagi. Gue memintanya main aja ke UI, Depok. Tapi toh hal itu tidak terlaksana. Gue nggak pernah chatting lagi sama dia sejak saat itu. Gue selalu berpikir untuk nge-chat sekali-kali tapi gue selalu mikir juga "Nanti ajalah. Lagi ada kerjaan lain.". Sampai pada malam ini, nanti ajalah itu gak akan bisa gue wujudkan lagi.

Gue selalu punya beragam kesempatan dan tiap-tiap hari untuk sekedar nanyain kabar dia, say hi, atau bahkan gue bisa dengerin curhatan dia. Dari kejadian ini, jujur gue belajar satu hal. Nggak ada kata terlambat dan nggak ada kata nanti untuk menjalin komunikasi. Apalagi dengan kawan lama yang sudah kayak saudara lo sendiri.

When you have to say hi, just say it. When you can love, just love. When you can listen, just listen. Before it's too late and you'll never get the chance again.

Selamat jalan, sobat. Lo tau gue akan selalu kangen sama lo, gue kangen juga buat dipeluk dan meluk elo. Semoga kita bisa berpelukan lagi pada satu ketika.

9.26.2016

Berlari Kembali

Sejujurnya ini bukan pertama kalinya gue mendapat ayat Matius 11:28 dalam perenungan Alkitab. Berulang kali gue udah dapet ayat dari Matius 11:28. Bahkan saat masih sekolah dulu, ayat tersebut menjadi salah satu bagian Alkitab yang paling gue inget.
Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
Sesungguhnya, kehidupan gue tidak berjalan semulus itu akhir-akhir ini. Lelah karena pekerjaan di kantor, ada pekerjaan lain yang harus dilakukan di rumah, ada relasi dengan orang-orang yang harus dijaga, pelayanan... dan beban pikiran lainnya yang tidak bisa gue utarakan. Bukannya mau menyombongkan diri bahwa gue orang sibuk atau apa... tapi gue sungguh-sungguh merasa kegiatan yang gue lakukan di atas adalah kegiatan mekanis. Gue pergi pagi hari, pulang malam, pekerjaan rumah dikerjakan sampai  larut, tidur, bangun pagi, begitu lagi. Untuk duduk menikmati kesendirian dan "me & Him" time aja rasanya udah terlalu lelah. Gue tidak menikmati lagi apa yang dahulu sering gue lakukan sebelum berangkat kuliah.

Ketika gue sedang lelah-lelahnya, tentu gue mencari penghiburan. Gue main game di ponsel gue. Gue nonton drama. Gue nonton apapun yang bisa bikin gue tertawa. Hingga akhirnya waktu gue pun habis untuk hal-hal tersebut. Gue nyaris seminggu nggak pegang gitar, gue nyaris seminggu juga gak buka buku apapun. Kemudian, permasalahan mulai muncul ketika gue mengabaikan beberapa tanggung jawab yang seharusnya gue lakukan.

Oke, kondisi ini adalah latar belakang gue menulis post ini malam ini. Gue sudah berjanji ketika mendapat satu hal untuk dibagikan, maka gue gak akan menunda-nunda menulis. Jadilah gue tulis.

Pagi ini, ketika di jalan menuju kantor, gue mendapatkan ayat yang sudah gue kutip di atas. Gue terdiam dan berpikir. Berapa seringkah ketika lelah gue mencari Tuhan? Ketika Dia menjadi satu-satunya pemberi kelegaan, kenapa gue harus mencarinya dari dunia yang memberi lega hanya sementara? Kehidupan gue yang memang sedang melelah-lelahkannya ini mungkin jadi satu hal yang mau Tuhan kasih lihat buat gue, satu jalan bagi gue untuk kembali duduk bersama dengan Dia dan menikmati kelegaan yang Dia berikan. Istirahat yang Dia berikan.

Ketika kita berlari padaNya, menerimaNya dengan segala kerendahan hati, di situ kita diberikan kelegaan, menyadari bahwa dalam kehidupan dengan segala hal melelahkan di dalamnya, kita gak akan bisa berjalan tanpaNya.

9.16.2016

Pernah Marah?

Setelah kemarin gue merasa tidak punya bahan untuk ditulis, pagi ini, gue mendapatkan bahan untuk ditulis, pada akhirnya. Praise Lord.

Sebenarnya, semua bermula dari kejadian di hari Sabtu minggu lalu ketika seseorang (selanjutnya disebut X) mengingkari janji. Intinya kami beberapa hari sebelumnya berjanji dan membuat rencana untuk hari Sabtu, tetapi pada hari Sabtu yang sama, X harus melaksanakan hal lain, dan gue baru tahu. Sebagai salah satu pihak yang sangat menantikan dan menginginkan kenyataan berjalan mulus sesuai rencana, gue kecewa. Gue bersikap ketus ketika membalas pesan singkat dari si X. Alternatif lain yang ditawarkan si X pun gue tolak, juga dengan ketus. Gue merasa, "Gue tuh nggak berhak lo perlakukan seperti ini. Kalau janji ya tepati dong." demikian yang gue pikirkan saat itu. Pada akhirnya, mungkin X pun kesal juga sama gue, ya sama-sama kesal, sama-sama dingin. Satu hari itu pun gue bad mood.

Kejadian lain yang membuat gue menulis post ini terjadi hari Kamis pagi. Ada satu hal yang kurang gue sukai untuk lakukan, tapi harus gue lakukan, tanpa diberitahu atau ditanyakan dulu apakah gue mau melakukan hal tersebut. Ya pasti gue akan menjawab tidak mau. Tapi seandainya orang yang menyuruh gue melakukan itu bertanya dulu, mungkin gue gak akan melakukannya dengan bersungut-sungut, dan sampai marah. Gue marah karena merasa "Gue punya pendapat, kenapa nggak tanya pendapat gue dulu sih? Gue gak suka melakukan hal itu!", pikir gue lagi. Kemudian sepagi itu, gue kesal, rasanya gak ada satu pun hal yang benar yang gue lakukan. Tidak ada damai sejahtera ketika gue tiba di kantor pagi itu. Kemudian, hal itu berujung pada ketusnya dan dinginnya gue dalam menanggapi pesan-pesan singkat yang datang. Karena marah, ya.

Syukurlah, semuanya kini sudah teratasi.

Kalau gue kilas balik, sebetulnya alasan si X mengingkari janji harusnya bisa gue terima dengan pikiran terbuka dan hati yang lapang. Gue nggak perlu semarah itu sampai ketus dan dingin menanggapi pesannya karena mengikuti rasa kecewa dan kemarahan dalam hati gue. Sebetulnya kejadian di Kamis pagi pun harusnya gue syukuri karena hal yang gue terpaksa lakukan itu sebetulnya bisa membuat gue jadi pribadi yang lebih berani dan bisa menolong orang lain. Gue nggak perlu mengeluarkan kata-kata yang dingin kepada orang yang gue kasihi untuk memuaskan amarah gue.

Ketika amarah menguasai diri kita, kita jadi nggak bisa memancarkan apa yang harusnya kita pancarkan--kasih. Kita kebanyakan mengikuti perasaan marah kita dengan ketus, dengan dingin, merasa berhak untuk tidak diperlakukan demikian oleh pihak lain... hingga tanpa sadar ada pihak-pihak yang mungkin tersinggung dan tersakiti karena kita mengikuti emosi itu. Gue teringat cerita Kain dan Habel, ketika Tuhan mengindahkan persembahan Habel, dan Kain menjadi marah karena hal tersebut. Gue tidak tahu apa yang ada di benak Kain pada saat itu. Apakah ia merasa berhak untuk diindahkan persembahannya oleh Tuhan? Apakah ia merasa jerih lelahnya tidak dihargai sehingga ia marah? Gue pun tidak tahu. Juga belum memahami kenapa Tuhan bertindak demikian. Akan tetapi, satu poin yang gue dapat dari cerita ini, Kain yang marah kemudian membunuh Habel. Kemarahan bisa menuntun kita untuk melakukan dosa.

Ayat Alkitab yang menjadi perenungan gue pada pagi hari ini adalah Yakobus 1:20
sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. (Terjemahan Baru)
Orang yang marah tidak dapat melakukan yang baik, yang menyenangkan hati Allah. (BIS)
Ketika gue membaca ini, gue kembali mengingat saat-saat gue pernah marah kepada orang-orang di sekitar gue. Gue seringkali bersikap ketus dan mungkin mengeluarkan kata-kata tajam yang sudah melukai hati mereka. Padahal, seringkali gue bikin Tuhan marah, dosa lagi dosa lagi, tapi lebih sering lagi Dia menunjukkan belas kasihNya buat gue. Gue percaya bahwa ketika Dia sudah menunjukkan belas kasih, membuat gue menerima belas kasih, itulah hal yang harusnya terpancar dari diri gue untuk orang lain, bahkan ketika gue dibuat kecewa atau dibuat marah oleh orang lain, karena itulah yang menyenangkan hatiNya.

Sulit memang untuk nggak marah saat kita dibuat kecewa, karena itu tiap saat kita butuh Dia untuk melembutkan hati kita supaya dapat menunjukkan belas kasihNya sebagai ganti amarah...

Refleksi

Tulisan gue terakhir kali ditulis dan dipublikasikan pada tanggal 29 Juli. Sudah lebih dari sebulan. Sebenarnya gue banyak menulis di draf blog tapi karena tiba-tiba mengalami writer's block, kebanyakan tulisan itu tidak berbuah jadi satu post utuh. Kemudian gue menyesal karena tulisan-tulisan setengah jadi itu harus berakhir begitu saja, semi-nyampah, dan gue pun lupa sudah tujuan awal kenapa gue menulis draf dan apa yang sebenarnya mau gue bagikan. Sebetulnya, ini termasuk pelajaran buat gue juga. Gue bilang gue suka menulis tapi ternyata gue gak pernah menyempatkan waktu untuk menyelesaikan tulisan. Gue pernah janji mau bahas soal skripsi gue untuk jadi tulisan di blog, review film atau sejenisnya, namun semua pun berakhir jadi wacana tak terlaksana. Bahkan gue pun belum jadi mau buat post pascawisuda untuk sekedar berbagi kebahagiaan.

Sepertinya gue sekarang harus benar-benar menulis ketika punya waktu dan benar-benar menulis dari awal hingga akhir.

Dan... selamat, kita telah tiba di bulan September (lagi). Gue tadi sempat melirik draf-draf di blog dan gue tersenyum ketika menemukan sebuah post yang gue tulis pada tanggal 15 September 2015. Itu hanya sebuah tulisan gue yang sedang pusing memikirkan soal tugas di kelas Bahasa Itali yang gue ambil kemudian juga kegalauan menulis proposal skripsi. Setahun begitu cepat berlalu rupanya. Kemudian di sinilah gue saat ini, jadi semi-karyawan di sebuah perusahaan swasta, kalo kata dia, mengabdi pada dunia hahaha... Gue saat ini bekerja sebagai penerjemah di sebuah bakal perusahaan webtoon. Well, penerjemahan gue rasa selalu jadi passion gue, hanya saja, gue berpikir bahwa ada hal lain yang perlu gue capai. Entah kapan dan entah bagaimana caranya.

7.29.2016

Rejected and Alone

Hari ini, setelah mendapat kabar yang membuat gue kecewa dan merasa "Well, siapalah gue, bukan orang penting, dan juga tidak spesial.", pada saat itu, tanpa terduga terputar sebuah lagu yang sudah sering didengar orang. Above All. Gue terpana pada bagian liriknya yang berbunyi:

You lived to die
Rejected and alone
Like a rose trampled on the ground
You took the fall
and thought of me
Above all

Man. He is rejected and alone. Yet, He still took the fall and put the thought of me, above all. Gue nggak bisa ngebayangin seandainya Ia menolak untuk ditolak dan ditinggalkan sendirian, seandainya Ia menolak untuk mengosongkan diriNya supaya bisa menyelamatkan manusia...

Perenungan gue adalah bahwa Ia yang adalah Anak Allah pun ditolak, ditinggalkan, dan Ia tidak mengeluh. Padahal Ia jauh lebih tinggi stratanya dari gue. Dia mungkin nggak ngerasa diriNya perlu diperlakukan secara spesial saat ada di dunia tapi Ia justru menaruh pikiran tentang manusia di atas segala hal dan memikul salibNya. This is beautiful and strengthened my heart. Siapa gue harus diperlakukan spesial dan mementingkan diri sendiri? Mengingat diriNya pun ditolak dan sendirian.

Ada sebaris lirik lagu yang membuat hati gue tercekat saat retreat di awal bulan Juli yang lalu, lirik itu berbunyi:
Tuhan b'rilah penghiburan, itu cukup bagiku,
mengenang Tuhan di dunia, lebih piatu dariku.

7.23.2016

Sebelum Makan Es Campur

"Kita harus berdoa sebelum makan."
Gue tersenyum ketika mendengar kalimat ini dari seorang adik perempuan di Sekolah Minggu siang tadi. Menu kami bukan makanan berat, cuma snack bernama es campur, tapi dia melipat tangan, menutup mata, dan berdoa.

Melihatnya berdoa, gue tiba-tiba terpikir, berapa banyak dari kita yang berdoa dan mengucap syukur untuk hal-hal kecil macam es campur? Berapa banyak dari kita yang mengucap syukur sebelum menyantap snack macam pisang goreng atau bolu kukus? (jadi laper...)

Gue pribadi mengakui bahwa seringkali gue tidak terpikir untuk melipat tangan dan menutup mata dan berdoa sebelum makan pisang goreng atau es campur hari ini. Boro-boro sikap berdoa, rasanya bilang terima kasih aja semacam kalau ingat. Waduh, jangan-jangan gue sudah menyepelekan berkat sekecil apapun dari Dia.

Gue teringat tentang kisah lima roti dan dua ikan dalam Alkitab. Menu makan hari itu sederhana pun sedikit, hanya roti dan ikan tapi hal yang dilakukan Tuhan Yesus adalah "...Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya..." (Yohanes 6:11 TB). Ia tetap mengucap syukur atas apa yang tersedia walau kecil dan sederhana.

Gue merasa tertegur. Demikian pula yang sering terjadi dalam kehidupan kita. Saat ada hal-hal kecil yang kita dapatkan, berkat-berkat kecil yang menurut kita sepele, kita jadi lupa untuk bilang "Terima kasih Tuhan untuk berkatnya.". Kita lebih sering berfokus pada berkat-berkat Tuhan yang lebih besar dan terkesan grand, big, beautiful.  Kadang dikasih berkat besar aja udah keburu bahagia dan lupa mengucap syukur. Kita tahu dan kita percaya juga bahwa Tuhan bekerja dalam segala hal, baik kecil maupun besar, sesederhana apapun atau sebesar apapun, ada tanganNya yang menyertai dan memberkati.

Entah itu es campur atau nasi padang, entah itu pisang goreng atau gurame bakar, He gave it for us to enjoy His bless and goodness.
"Mengucap syukurlah dalam segala hal..." --1 Tesalonika 5:18

6.19.2016

Kata Pengantar (Tidak Resmi)

Tuhan beserta dengan kamu bilamana kamu beserta dengan Dia. (2 Tawarikh 15:2)
--
Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu. (2 Tawarikh 15:7)
--
Gue menulis dua ayat Alkitab tersebut berbulan-bulan lalu di dinding, ketika gue sedang galau-galaunya mengerjakan skripsi. Baca buku tidak membantu, mau nulis nggak punya inspirasi, dan nonton film yang menjadi objek penelitian gue pun tidak membantu. Kesibukan gue bertambah dengan kerja paruh waktu sehingga gue nggak bisa sering-sering ke kampus dan bertemu dosen pembimbing. Gue sampai berpikir apakah gue bisa sidang semester ini, apakah yang akan terjadi kalau ternyata gue sampai harus menambah satu semester lagi? Pokoknya stagnan sekali rasanya skripsi ini. 

Jeleknya gue adalah kalau sudah lelah, gue akan lari. Gue berlari ke pekerjaan gue, gue tidur banyak-banyak, gue makan, pokoknya ada masa gue tidak menulis skripsi sampai satu atau dua minggu. Tapi gue tahu Tuhan nggak mau domba bandel satu ini menyerah. Maka Ia bukakan ayat tersebut pada gue dan ya, ada semangat lagi, somehow I feel my heart said, "Le, mau sampai kapan santai-santai? Ada upah, Le. Perjuangan kamu nggak akan sia-sia." Kalimat itu menampol gue sehingga gue kembali memulai, walau ada saat ketika gue jatuh lagi, males lagi, tapi toh akhirnya gue akan kembali bangkit, mengingat Ia ngasih kekuatan untuk gue kembali berjalan.

Lalu, terjadilah hari paling mendebarkan nomor sekian dalam hidup gue, yaitu 14 Juni 2016. Penentuan apakah nama gue akan tambah berat atau tidak haha... Hasilnya... Puji Tuhan... nama dan kewajiban tambah berat hehe... Nilai yang diberikan juga sesungguhnya tidak sepadan mengingat kemalasan gue dan kesibukan gue sehingga waktu gue tidak tercurah untuk si tugas akhir, tapi mungkin inilah yang Tuhan perbolehkan terjadi :")

Jadi, post hari ini akan gue dedikasikan untuk orang-orang yang telah mendukung gue dengan doa, dengan datang di hari sidang, dan dengan cara apapun :") Nama-nama mereka tidak mungkin cukup dimuat dalam kata pengantar yang akan gue tuliskan untuk skripsi gue :")

  • Adek. Terimakasih untuk pelukan, kasih, semangat, doa, sarannya yang lucu, sampai lawakannya seminggu sebelum gue sidang, "Cici, kamu salah apa sampai harus disidang?" :")
  • Papy Mamy. Terimakasih Papy yang sudah jemput malam-malam setiap kali Cici habis skripsian di kampus atau di tempat lain, terimakasih Mamy sudah menyuplai makanan supaya Cici punya tenaga dan terutama terimakasih untuk doa, dukungan, semangat, dan sarannya untuk membuat skripsi yang walau susah dan pernah saya sesali untuk ikuti, but thank you.
  • Tim #TidakAda16MeiTahunIni alias geng skripsi 2012: Imam, teman sepenantian gue yang murah dan baik hatinya, Kak Inta, yang selalu dicurhatin setiap ada masalah akademis maupun kegalauan non akademis, Redita, si anak ambis yang sudah bimbingan dari semester enam, Ana, teman galau akademis maupun non akademis, Diana, Unun, Bunga, Olla, Deni, Shasha, Kak Mei, Nenek, pihak-pihak yang sudah jadi teman kaget bersama selama masa penulisan, dan untuk Devina, semoga sehat selalu dan tetap semangat! Kami mendukungmu! :)
  • Kelompok Wanita Tegar: Fionna, yang menjelang sidang gue kirimin PPT dan VN latihan presentasi supaya dikasih saran :"), Gitta, yang menemani dan mendandani, makasih green tea-nya dan dandan gratisnya :"")), Shofi si anak sibuk yang sudah menyemengati untuk tetap tegar. Plus Redita yang sudah disebut di atas.
  • Lely, sobatku yang juga sedang membuat tugas akhir dan akan segera sidang, terimakasih udah mendoakan dan menyemangati, mendukung dan selalu jadi teman diskusi malam-malam. Untuk Jason, Pak Yus, dan dedek-dedek yang sempet main ke UI di saat gue lagi mentok-mentoknya mikirin skripsi, terimakasih untuk refreshing singkatnya :D 
  • Kakak Dyna, Kakak Ninim, dan Kak Lita yang sudah menjawab pertanyaan, meredakan kegalauan, meminjamkan skripsi dan PPT untuk sidang skripsi, kata terimakasih nggak cukup untuk membalas kebaikan hati kakak-kakak, kayaknya :") Terimakasih untuk Koko yang udah telepon sore-sore macem sales asuransi untuk mengucapkan selamat, terimakasih untuk kakak-kakak BKK lainnya yang sudah menyemangati juga :D Teman-teman BKK 2012, yang selalu mendukung dan mendoakan kami di manapun, juga yang sudah membantu kami saat sidang, memberi cemilan, apapun bentuk dukungan kalian, terimakasih. Untuk BKK 2013 dan Fray yang udah pindah planet untuk mendukung, terimakasih untuk dukungan doanya, juga kepada BKK 2014 dan 2015, terimakasih untuk dukungan dan semangatnya di socmed maupun ketika bertemu langsung. 
  • Untuk Lady, teman pertamaku yang ketemu pas daftar ulang pas baru jadi camaba :") terimakasih buat doanya, terimakasih udah dateng serta ngasih coklat pas sidang, semoga sukses juga sidangnya ya :") Untuk Anggita, teman empat tahun yang tidak pernah foto bersama, terimakasih udah menyemangati dan udah ngasih liat PPT-nya :") Untuk Sella, selamat udah jadi sarjana arsitektur! Thanks udah dateng dan ngasih coklat juga dan maaf gak bisa dateng pas lu sidang, besok-besok kita ketemu lagi yaa :) Untuk Afung, yang udah nyemangatin, sukses juga sidangnya :) 
  • Untuk teman-teman PO FIB UI yang tidak bisa disebutkan satu-satu, terimakasih sudah mendukung dalam doa dan menyemangati, untuk TKK dan PKK-ku, terimakasih doa dan semangatnya serta sharingnya :) 
  • Untuk Anisa yang juga sudah menyemangati, Gaby yang lupa gue kabari bakal sidang, Dila dan Indri, semoga kalian baik-baik. Untuk dia yang sudah membantu membuat slide untuk presentasi, mendengarkan latihan presentasi, ngasih saran, menjadi teman berdoa, dan memberi semangat. Sukses sidangnya yap! Untuk Nathan, sepupu yang menjadi teman diskusi mainstream maupun anti-mainstream, thanks for your pray, bro. Untuk teman-teman pelayanan SM, terimakasih atas pengertiannya.
  • Kepada pihak-pihak lain yang membantu gue dalam doa dan gue mungkin tidak tahu, orang terkasih, terdekat ataupun dekat namun jauh (?),saya menuliskan ini untuk kalian dan berterimakasih, semoga Tuhan membalas kebaikan hati kalian. Saya menuliskan ini bukan berdasarkan urutan siapa yang paling berarti, kalian sama berartinya buat saya #ciegitu. Terutama saya mengucap syukur kepada DIA, Pencipta yang setia :)
Untuk menutup post super panjang ini, perkenankanlah gue untuk memperlihatkan wajah-wajah sumringah lepas sidang haha...
Hari pertama: 13 Juni 2016

Foto ala-ala kloter pertama

Sumringahnya kloter kedua

Ceria~ lupa revisi
Setelah skripsi terbitlah revisi,
sampai jumpa, besok bertemu kembali.

6.11.2016

To Die is To Live

"Mematikan" keinginan.
"Mematikan" harapan.
"Mematikan" segala yang berhubungan dengan keegoisan.
"Mematikan" untuk menghidupkan.
---

6.09.2016

The Day

Aku minta duapuluh
Tapi Ia berkata tujuh saja cukup
Aku lari berbasah peluh
Ia bilang mendekat, kasihKu melingkup
--
14 Juni. 10.00-10.50.

6.06.2016

Berakar.

Gue sedang dalam masa-masa menyelesaikan tugas akhir. Gue merasa bodoh setelah menulis skripsi ini. Gue mendadak nggak bisa mengamalkan ilmu yang sudah gue dapat empat tahun belakangan. Gue merasa makin banyak gue baca, semakin gue nggak mengerti apa yang mau gue tulis. Gue stress. Nggak bisa makan. Tidur nggak tenang. Khawatir, takut, mikir negatif... di saat begini gue merasa... di mana sukacita yang Ia janjikan?

Di saat teman-teman yang lain sudah mendapat tandatangan dosen pembimbing di atas draf final skripsinya, gue masih berusaha menyelesaikan apa yang sudah gue pilih. Belum gila, tapi gue merasakan sesuatu yang salah dalam hidup dan hati gue akhir-akhir ini. Entah bagaimana gue kehilangan sukacita. Gue kehilangan semangat. Kehilangan rasa optimis. Gue dengan mudahnya nyemangatin orang, memberi kata-kata yang kedengeran bijak, tapi ketika gue bercermin... suara dalam hati semacam berkata "Semangatin orang terus, semangatin diri sendiri kok nggak bisa?"

Gue pernah baca satu ayat Alkitab yang terbuka secara nggak sengaja saat gue lagi saat teduh.
Kamu telah menerima Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. (Kolose 2:6-7)
Waktu gue baca ini saat itu, gue nggak ngerti. Gue tahu kita harus melekat sama Dia. Tapi berakar? Kenapa harus berakar?

Kemudian tibalah masa-masa kegelapan tak tentu arah gue yang sebenarnya masih berlangsung sampai pada saat gue menulis postingan ini.

Gue terpikirkan ayat ini dan kemudian gue terpikirkan satu ungkapan lain, "Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup menerpanya." dan gue terpikirkan akan kata "berakar". Gue terkesiap. Gue berpikir bahwa inilah yang dimaksud dengan berakar. Kita butuh berakar di dalam DIA karena kita butuh dasar yang kuat untuk tumbuh dan teguh berdiri. Seperti sebuah pohon, ketika pohon tersebut menanamkan akarnya pada tanah yang kuat, banyak zat hara, pohon tersebut juga dapat tumbuh kuat. Akarnya tertanam kuat dalam tanah tersebut. Semakin besar pohon tersebut tumbuh, semakin kencang angin yang menimpanya. Semakin besar risiko dia untuk tumbang, kalau akarnya tidak kuat menancap dalam tanah tersebut. Tapi, kalau pohon tersebut berakar dengan kuat ke tanah, sekuat apapun angin menerpa, pohon itu nggak perlu kuatir akan tumbang karena akarnya menancap pada tanah yang kuat dan mampu men-support tubuhnya.

Semakin kita mendekat sama Tuhan, itu gak serta merta membuat kita lepas begitu aja dari cobaan dan penderitaan. Tapi justru kita semakin 'baper' oleh karena pencobaan dan penderitaan yang ada. Banyak hal yang akan menggoda kita untuk jauh dari DIA, dan tumbang, kalau kita tidak kuat berakar di dalamNya. Saat itulah gue menyadari bahwa inilah pentingnya kita berakar di dalam DIA. Untuk tetap teguh berdiri dalam kepercayaan dan iman kita, sehingga saat cobaan menyerang, kita tetap kuat berdiri dan tetap melimpah dengan ucapan syukur karena masih ada DIA yang mendukung kita dalam segala keadaan.

Biar ini jadi peringatan dan ayat hafalan buat gue dalam menjalani masa-masa menyelesaikan tugas akhir ini.

5.23.2016

Komunikasi

Kita butuh bahasa
Merangkai kata demi kata
Jangan lupa satu titik tanda baca

Kita butuh gambar
bergerak atau diam
Dilukis cahaya atau digaris dengan tangan

Kita butuh suara
yang dalam diam justru berteriak lantang
untuk membuai atau tetap terjaga

5.21.2016

Kau hadir sebagai angin yang membelai daun-daun kala pagi
Kau ada dalam birunya langit yang kupandang tiap-tiap hari
Kau ada pada tanah tempat anak manusia berjalan dan berlari
Kau mengisi jarak di sela-sela jemariku kala kutuliskan puisi ini

"Your presence is heaven to me."

5.02.2016

Perkara

Perkara merindumu, kasih
Tidak hanya sebatas jarak atau pula waktu
Terkadang perkara gengsi dan urusan kita masing-masing
Perkara mengobati hal itu, kasih
Rupa-rupanya memang sulit
Tidaklah semudah aku menerjemahkan kata asing dalam telingamu
Tidaklah semudah kau jelaskan bagaimana kerja sebuah mesin kepadaku

Menanti hari hujan selanjutnya...
2 Mei 2016

4.29.2016

Terbuka

Kita semua pasti pernah sakit. Apa yang akan terjadi kalau kita sakit parah sampai-sampai kita menderita karenanya dan kehidupan kita terganggu karena penyakit tersebut? Tentunya kita akan pergi bertemu dokter untuk mendapatkan pengobatan. Ketika kita ketemu dokter tersebut, tentunya kita akan menceritakan apa saja yang kita rasakan, di bagian mana kita merasa sakit, dan tentu kemudian si dokter baru bisa mendiagnosis kita sakit apa dan kemudian menentukan bagaimana kita harus diobati supaya kita bisa sembuh.

Seandainya dalam kondisi sakit parah kita tidak pergi menemui dokter dan tidak menceritakan apa yang kita alami, tentu penyakit tersebut akan tetap ada bahkan bisa jadi bertambah parah karena kita tidak menerima pengobatan yang seharusnya.

Ilustrasi ini tercetus dalam otak gue semalam. Dua hari yang lalu, gue mengikuti Kelompok Kecil dan salah satu poin yang gue inget adalah bersekutu membutuhkan kejujuran. Kejujuran membawa kita pada keterbukaan akan satu sama lain dan penerimaan. Hal ini juga pernah gue baca dalam buku Rick Warren sebelumnya. Kejujuran membuat kita tidak perlu menutupi diri lagi dalam sebuah persekutuan dan keterbukaan adalah sebuah tanda dalam atau tidaknya sebuah persekutuan.

Waktu SMP, gue pernah diberitahu oleh guru BP gue sebuah kalimat,
Keterbukaan adalah awal dari pemulihan
Kemudian gue terpikirkan persekutuan kita dengan Allah. Sesuatu yang berusaha kita tutupi dari Allah yakni dosa, gue ibaratkan sebagai sebuah penyakit yang ada dalam diri kita. Setengah mati kita berusaha menyembunyikan hal tersebut dan tidak mengakuinya di hadapan Allah maka setengah mati pula rasa sakit yang kita terima karenanya. Persekutuan dengan Allah pun jadi tak tenang dan tak seleluasa itu. Padahal, Allah merindukan persekutuan yang intim dengan kita.

Terus, bagaimana cara memulihkan hal ini?

Dengan datang pada dokter segala dokter, yakni Tuhan kita. Ketika kita terbuka, dengan jujur menyatakan segala kesalahan kita di hadapanNya dan memohon dengan rendah hati dan rendah diri, Ia yang adalah dokter dari penyakit tersebut akan memulihkan kita. Inilah gue pikir keterbukaan yang memberikan pemulihan. Ketika kita terbuka, hubungan kita denganNya pun turut dipulihkan dan kita bersekutu dengan tenang dan lega hati dengan Allah.

Keterbukaan akan kelemahan dan "penyakit" kita merupakan awal dari pemulihan kita dalam hal persekutuan kita dengan Allah dan juga dengan sesama.

4.24.2016

Akhir bagi Sebuah Awal, Awal untuk Sebuah Akhir

Oh iya, sebenarnya ada satu hal lagi yang bisa gue bagikan di sini. Sebagai pengingat juga dan menandai berakhirnya kisah gue dan berawalnya kisah yang lain. Bukan, ini bukan soal kehidupan percintaan gue dengan laki-laki. Ini soal kehidupan percintaan gue dengan (mantan) murid gue yang baru gue putuskan hari ini. She is an 8-years-old girl, fyi. Sebut saja dia GE.

Awal pertemuan gue dengan murid gue adalah karena seorang teman menawarkan kerjaan jadi guru les untuk dia. Dia adalah bocah Korea pertama yang akan gue ajar pada waktu itu. Sesungguhnya gue deg-degan banget waktu itu. Akan seperti apa anak ini? Baik gak? Nurut gak? Kalau gue ajarin, apakah dia akan mengerti? Karena saat itu gue butuh pengalaman dan juga butuh penghasilan, akhirnya gue mengiyakan tawaran tersebut. Seinget gue, pertama kali kita ketemu adalah Februari 2015. Pertama kali ketemu, dia masih malu-malu, mungkin dia juga bingung karena belum lancar berbahasa Inggris atau Indonesia dan gue juga belum tentu ngerti ketika dia nyerocos pake Bahasa Korea. Saat itu gue ngetes dia untuk tahu sejauh mana kemampuannya dan saat itu gue tahu bahwa gue tidak akan mudah mengajar GE. Selain karena gue yang masih miskin pengalaman sebagai pengajar, kendala bahasa adalah hal yang menjadi tantangan juga buat gue.

April 2016, berarti kurang lebih gue sudah mengajar dia selama 14 bulan. Selama mengajar GE, gue mengalami banyak hal yang kadang menguras emosi, menimbulkan pertanyaan dan kegalauan tersendiri buat gue sebagai guru lesnya, dan juga tawa. GE kadang susah diatur, tapi kalau lagi serius belajar, wah... gue kadang sampai bingung takut bahan selesai sebelum waktu les habis. GE termasuk anak yang sering berbagi cerita tentang kesehariannya di sekolah bersama teman-temannya. Kadang dia penasaran akan suatu hal, kemudian bertanya, kadang dia nari-nari ala girlband dan gue disuruh jadi penontonnya. Tapi dari semuanya itu, gue benar-benar belajar bersabar, mendengar, dan memperhatikan ketika gue mengajar GE. 

Kadang ada hal-hal yang bikin gue nggak paham si GE ini lagi ngambek kenapa, kalau udah ngambek, nggak mau belajar. Dipaksa belajar sambil marah, anaknya tambah menjadi. Wuw, pokoknya menguji kesabaran dan gue diajar untuk bersabar menghadapinya. Ketika GE cerita tentang kesehariannya, gue diajar untuk menjadi pendengar yang baik dan berusaha memberikan dia saran-saran. Termasuk ketika dia nanya hal sesimpel "Besok kan masuk sekolah, aku pakai kotak pensil yang mana ya?" dan meminta pendapat gue, gue belajar mendengar dan memperhatikan dia. Walaupun masih bocah, dia tetap aja punya perasaan, sama seperti orang dewasa dan gue juga belajar bahwa dia pun juga berharga di mata Tuhan. That's why, sebagai guru lesnya, sudah seharusnya gue memandang dan memperlakukan dia sebagaimana Tuhan memandang dan mengasihiNya.

Gue sempet ingin berhenti mengajar GE, jauh sebelum ini. Waktu itu gue berpikir kayaknya gue nggak cocok ngajar, kayaknya semakin lama anak ini akan semakin terikat dan malah manja sama gue. Kalau GE udah ngambek, gue rasanya mau nyerah aja. Tapi, gue teringat bahwa ini adalah perkara yang Tuhan sudah berikan pada gue. Tanggung jawab yang harus gue kerjakan dengan sepenuh hati bagaimanapun. Dan lebih penting lagi, Tuhan mengingatkan, Ia sayang GE, dan gue juga harusnya menyayangi GE seperti itu. Karena sering ngambek terus nyerah? Kesannya kok gue lepas tangan banget. Toh akhirnya seiring waktu, sikapnya yang suka ngambek bisa ditangani olehnya dibantu hiburan dari gue haha -_- Mungkin juga karena GE bertambah usia dan tambah dewasa... Mungkin banyak yang bilang gue berlebihan banget sampe sayang begitu ke murid les, tapi inilah kenyataannya, GE sudah seperti adik gue sendiri rasanya.

Bulan ini, gue memutuskan bahwa tanggal 23 April 2016 menjadi hari terakhir gue mengajar GE setelah 14 bulan. Selain karena skripsi, ada hal lain yang membuat gue dengan sangat terpaksa meninggalkan GE. Agak sedih sih, soalnya akhir-akhir ini dia lagi semangat belajar dan gampang dibuat fokus. Walaupun ini anak kadang gak bisa gue ngerti, tapi ada beberapa percakapan yang membuat gue gak tega mengakhiri pekerjaan ini:
Gue: 너 선생님이 여기 있는 것... 좋아? (Kalau ada aku di sini, kamu seneng ya?)
GE: 응. 좋아. (Iya.)
Dulu gue sempet ngajar bersama temen gue juga dan biasanya, gue sama temen gue pulang bareng, saling tunggu juga kalau salah satu dari kita ada yang belum selesai mengajar. Maka terjadilah percakapan ini
GE: 쌤, 언니 쌤이랑 같이 가지요? 그럼 우리 좀 놀아요.  
(Miss, nanti sama gurunya kakak pulang bareng kan? Kita main sebentar yuk.)
Kesannya ini anak menahan gue untuk pulang -_- 
GE: ㅋㅋㅋ 비가 와서 선생님 집에 못 가 ㅋㅋ 여기 오래 있을거야 
(Hahaha, karena hujan Miss nggak bisa pulang ke rumah haha, bakal lama deh di sini)
Yang paling gue inget sih ini:
GE: 언니 선생님이 지금 취직하고 다음에 선생님도 바이바이 하겠지요. 
(Gurunya si kakak udah keterima kerja. Selanjutnya kita juga perlu say goodbye ya, Miss.) 
Gue: 응... 그럴 수도 있겠지... 근데 아마 가르쳐주는 것 계속 할 수도 있어. 
(Ya, mungkin juga sih. Tapi mungkin juga aku tetap ngajarin kamu)
GE: 응? 어떡해? 아... 쌤이 면접 떨어지면 날 계속 가르쳐줄 수 있겠지 ㅋㅋ 
(Lah gimana bisa? Oh iya bisa sih, kalau Miss gagal pas wawancara hahaha) 
Gue: 그런 것 말하지마 야...
(Ya jangan bilang gitu juga dong kamu)
Banyak percakapan random lainnya dengan GE yang kadang gue sendiri nggak ngerti kenapa ini anak bisa sampai mikir begitu. Bagaimanapun, gue bersyukur bahwa ini adalah sebuah pengalaman yang tidak terlupakan dan mengajarkan gue berbagai hal baru. Saat gue mengakhiri hal ini, akan ada awal yang baru buat GE dan gue. Awal yang baru antara GE dan temen gue yang menggantikan ngajar serta awal yang baru untuk pengalaman gue sendiri. Apapun itu, gue tentu selalu berharap si GE akan tumbuh tetap berada dalam kasih Tuhan dan gak melupakan gue haha...

그 동안 즐거운 시간들이 기억 속에 오래 남을것이다.
(Akan tinggal dalam ingatan selalu, saat-saat menyenangkan kita pada waktu itu...)

4.23.2016

Menjaring Angin

Yak. Gue tahu saat gue menulis ini, di sini sudah setengah tiga pagi dan harusnya gue terlelap karena pagi ini masih harus mencari segenggam butiran emas untuk membiayai hidup dan mencetak skripsi. *kemudian menangis di pojok kamar* Tapi, berhubung gue tidak mengantuk (karena sudah tidur petang) dan gue mau cicil-cicil buat draf, jadilah gue masih terjaga. (Post ini kemudian dipubikasikan menjelang tengah malam keesokan harinya, atas keterlambatannya, maafkan)

Yak (lagi). Posting yang dibuat dini hari ini didasarkan pada pengalaman gue yang bisa dibaca di sini. Jadi, posting ini bersifat sebagai reminder buat gue dan juga semoga bisa menyemangati kawan-kawan yang tanpa sengaja terperosok (?) ke blog ini ;)

Dalam post yang itu, gue menceritakan tentang pengalaman gue yang gagal menerima sebuah pekerjaan yang gue idam-idamkan, sebuah pekerjaan yang rasanya, "Wah gue banget!". Waktu itu, gue berpikir begini, kenapa gue belum bisa mencapai apa-apa dalam hidup ini sementara temen-temen gue yang lain kayaknya udah mendapatkan banyak pengalaman khususnya dalam pekerjaan atau karir atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan pascakampus. Kita selalu punya kecenderungan untuk membandingkan diri kita dengan kehidupan orang lain. Orang lain begini, kita juga mau begini, bahkan mau yang lebih begini begitu daripada dia. Tujuannya? Supaya kita menang dari orang lain, melebihi orang lain, untuk kemudian bisa menepuk dada dengan angkuh dan bilang, "Hey look! This is me!" (Hai, lihat! Ini loh aku!). Hingga pada akhirnya, hal-hal yang memotivasi kita untuk melakukan segala sesuatu adalah rasa iri hati kita dengan kehidupan orang lain.

Akan tetapi, beberapa waktu lalu, gue diingatkan melalui sebuah ayat dari kitab Pengkhotbah dan juga oleh buku Purpose Driven Life karangan Rick Warren. Ayatnya berbunyi begini:
Aku tahu juga bahwa manusia bekerja begitu keras, hanya karena iri hati melihat hasil usaha tetangganya. Semua itu sia-sia belaka seperti usaha mengejar angin. (Pengkhotbah 4:4 BIS)
Wow. Mengejar angin menurut gue adalah pengibaratan yang cukup tepat di sini. Ketika kehidupan kita, pekerjaan kita, usaha kita dalam kuliah, digerakkan oleh iri hati karena ada orang yang rasa-rasanya lebih baik kehidupannya dari kita, Pengkhotbah mengatakan bahwa itu semua adalah sia-sia belaka seperti berusaha menjaring angin. Kita selalu mencari orang untuk kita tandingi. Ada sebuah kalimat yang berbunyi begini, "Di atas langit masih ada langit". Kita tidak pernah tahu di mana langit berakhir sama seperti kita tidak tahu siapa manusia terhebat yang tidak bisa dikalahkan. Kita tidak akan pernah bisa puas, kita tidak akan pernah bisa bersyukur, kala iri hati masih menempati hati kita dan bahkan menjadi motor penggerak dari setiap usaha kita. Makan ati lah pokoknya kalau dasar dari usaha kita itu pakai iri hati. Kita capek, kita jenuh, dan pada akhirnya kita tidak bisa bersukacita dalam melakukan setiap hal yang sudah tangan kita temui untuk dikerjakan.

Nah, itu refleksi gue yang pertama. Refleksi gue yang kedua adalah bahwa He is good and always good. DIA baik dan akan selalu begitu. Bahkan sesungguhnya ada saat dimana gue merasa Dia terlalu baik kepada gue yang kerjaannya kalo nggak ngeluh, ngomel, ngeluh, ngomel, ngegerutu, males-malesan... Kenapa gue bisa bilang demikian? Well, akan ada saatnya lagi untuk aku bercerita khkh. Sampai jumpa lagi!

4.08.2016

Jangan Bermain dengan Api

Ibu bilang jangan main api
Rasanya panas dan kamu terbakar
Ayah bilang jangan main api
Kecil ia kawan, besar berbalik melawan
Aku bilang kamu jangan main api
Siapa sangka kamu terbakar tapi lupa bagaimana memadamkan

4.07.2016

(Hanya) Pengingat

Entah ada apa dengan hari(-hari) kemarin.

Ya, gue menulis ini pada tanggal 6 April dan kejadian ini terjadi pada tanggal 5 April (dan kemudian nge-post ini 7 April, wew -_-). Gue sedang berada di sebuah restoran cepat saji, menunggu waktu mengajar sambil mikir-mikir buat skripsi. Kemudian handphone gue berbunyi. Ada panggilan dari nomor tidak dikenal. Tadinya gue hampir mengabaikan telepon tersebut. Tapi gue pikir, ya coba ajalah diangkat, barangkali penting. Intinya, setelah gue mengangkat telepon tersebut, gue ditawari sebuah pekerjaan idaman gue. Gue sudah melamar pekerjaan ini sejak berbulan-bulan lalu sebenarnya, sampai gue sendiri udah lupa karena memang nggak ada email balasan dan gue sudah pasrah aja.

Kemudian si penelpon menjelaskan perihal dari mana ia menelpon dan gue ditanya apakah masih tertarik dengan pekerjaan tersebut. Wah, spontan gue jawab, masih tertarik. Pekerjaan yang gue idamkan (bisa dibilang demikian), di perusahaan yang gue pikir juga baik. Gue menjelaskan bahwa kondisi gue saat ini sedang skripsi dan masih ngambil kelas di perkuliahan, jadi untuk masuk full-time lima hari seminggu dan jam kerja itu agak perlu dipertimbangkan. Awalnya si penelpon berkata, nanti coba ditanyakan dan akan dikabari kelanjutannya. Well, gue awalnya sudah berekspektasi tinggi, bahkan sudah berandai-andai kalau diterima. Mungkin asyik. Kemudian ya gue mengakhiri telepon tersebut.

Di hari yang sama, pada akhirnya gue dikabari kembali bahwa gue tidak bisa mengisi posisi tersebut karena gue harus masuk full-time di kantor, yang berarti dengan status gue yang masih mahasiswa ini belum memungkinkan. Hm... bagaimana gue mendeskripsikan perasaan gue? Kacau. Haha... enggak kacau-kacau banget sih, tapi ibaratnya gue semacam kiper yang sudah memegang bola di tangan, tapi gue malah melakukan blunder dan bola itu terlepas, masuk ke gawang sendiri. Gue sih awalnya oke-oke aja pas di tempat itu. Tapi gue kembali berpikir, duh God, kok rasanya aku ini belum berhasil melakukan apa-apa ya. Teman-temanku yang lain udah pada kerja, magang, kayaknya enak gitu. Aku ini masih miskin pengalaman. Ada kesempatan buat mendapat pengalaman, malah lepas begitu aja :(

Sebenernya, bukan hanya hal ini aja yang terjadi dan membuat gue sempat kehilangan harapan akan banyak hal. Ada satu hal lain lagi yang tidak bisa gue ceritakan di sini. Gue jadi merasa kenapa gue nggak bisa menggapai A, B, C, D, dst... banyak hal yang gue inginkan tapi kayaknya terlepas begitu saja. Entah apakah gue yang kurang usaha atau memang sebenarnya hal tersebut memang sejak awal bukan buat gue kerjakan...

Sesungguhnya pagi itu gue mendapatkan bahan bacaan dari kitab Yeremia pada bagian di mana ia diutus sama Tuhan tapi ia menolak karena ia merasa ia masih muda dan nggak pandai berbicara. Tapi toh pada akhirnya Tuhan tetap suruh dia pergi, ke mana Tuhan suruh ia beritakan Firman Tuhan, Tuhan mau Yeremia tetap jalan.

Sebenernya dari bagian itu, gue mendapatkan bahwa kita perlu ketaatan sama apa yang sudah Tuhan perintahkan, dan kesetiaan pada perintah tersebut. Momen dimana gue tidak mendapatkan pekerjaan yang gue idamkan mungkin sebenarnya kasih yang Tuhan tunjukkan untuk mengingatkan gue buat setia dan taat sama apa yang akan Ia bukakan untuk gue ke depannya. Sekaligus, mungkin juga Ia mengingatkan bahwa gue masih punya tanggung jawab yang belum selesai gue kerjakan.

3.31.2016

Berbaikan

Postingan ini sifatnya sebagai catatan pengingat dan perenungan untuk diri gue sendiri atau mungkin juga orang lain yang kebetulan membaca...

Gue pernah memiliki masalah dalam hubungan dengan orang-orang terdekat yang gue kasihi. Yah siapa sih yang nggak pernah ribut dengan keluarga, pacar, rekan kerja, atau teman dekatnya? Masalahnya seringkali sepele, salah ucap, salah dan kemudian gagal paham, disulut api emosi, lalu meledak. Gue orangnya mudah tersulut emosinya, ditambah keras kepala dan nggak mau ngaku salah. Makanya setiap kali ada masalah yang terjadi dalam hubungan gue dengan orang-orang terdekat, gue akan bersikeras menyatakan bahwa "Ini loh maksud gue. Pahami dong!" dan walaupun mungkin maksud gue itu salah, gue jarang  ingin mengaku salah.

Suatu kali gue berselisih sama Mamy via BBM karena sebuah masalah yang kalau gue pikir-pikir lagi, itu sangat sepele dan gak ada untungnya diperdebatkan. Dalam masalah ini, jujur gue akui bahwa gue yang salah tapi kejelekan gue seperti yang sudah disebutkan di atas, gue keras kepala dan nggak mau ngaku salah, bersikukuh sama pendapat gue, hingga Mamy marah. Mamy bilang gue ini suka salah paham menilai pendapat orang. Gue nggak terima dan masih nggak mau ngaku. Dengan tidak ikhlas gue meminta maaf. Pokoknya pas itu gue merasa bebal banget deh jadi anak. Gue hanya meminta maaf untuk mendinginkan keadaan, bukan karena gue mengaku gue salah dan menyesali perbuatan gue.

Minggu kemarin gue bertengkar dengan seseorang, masalahnya nggak sepele sebenernya, tapi kalo gue liat, semua berakar dari keras kepalanya gue (gue baru menyadarinya 48 jam kemudian, by the way). Gue tetap aja nggak mau ngaku salah, nggak mau ngaku bahwa akar masalahnya ada pada sifat gue. Gue kembali lagi meminta maaf hanya sekedar untuk mendinginkan keadaan. Parahnya lagi, gue langsung "menodong" solusi untuk masalah yang sedang kami hadapi, di saat sebenarnya gue sendiri tidak tahu apa akar masalahnya. Karena tidak menemui solusi, pembicaraan buntu, relasi kurang baik, perasaan nggak enak, tidur juga nggak nyenyak.

Dua hari setelah perselisihan yang terjadi dengan keadaan yang sepertinya tidak juga membaik, gue membaca sebuah artikel atau encouragement yang gue lupa bersumber dari mana, intinya adalah bahwa terkadang kata-kata "Maafkan saya..." tidak lebih ampuh daripada "Saya mengakui kesalahan saya, bahwa saya..." ketika kita ingin dimaafkan oleh seseorang. Gue tertegur dengan kata-kata ini sih. Gue kembali berpikir, di saat-saat gue berselisih dengan Papy, Mamy, atau partner gue, gue terlebih dahulu memohon maaf tapi enggan mengaku salah. Main aman. Padahal mungkin mereka akan lebih lega dan gue juga mungkin akan lebih lega ketika gue mengakui kesalahan, baru kemudian meminta maaf. Buat gue, mengakui kesalahan berarti kita menyadari peran kita dalam konflik tersebut dan kita mengetahui dengan jelas alasan kita meminta maaf, bukan minta maaf yang sekedar basa-basi, tentu saja.

Setelah itu, gue kembali teringat akan perkataan Bapak Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life yang berbicara tentang bagaimana memulihkan hubungan yang retak. Ia mengatakan bahwa: 

Pengakuan merupakan alat yang penuh kuasa untuk rekonsiliasi. Seringkali cara kita menangani sebuah konflik malah menimbulkan luka yang lebih besar daripada masalah awalnya itu sendiri. (Warren, 2002: 175-176)
...dengan jujur akui saja setiap peran yang Anda mainkan dalam konflik tersebut. Terima tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Anda dan mintalah pengampunan. (Warren, 2002: 176)
Sebenarnya, Bapak Rick menuliskan beberapa langkah namun yang paling gue ingat ada dua, dan salah satunya adalah yang telah gue kutip di atas. Mengakui kesalahan menjadi faktor untuk kita dapat memulihkan sebuah hubungan karena dengan mengakui kesalahan, kita tahu bagian mana dari diri kita yang perlu diperbaiki. Lagi, perkataan yang menegur gue dari buku ini adalah:
Utamakan rekonsiliasi, bukan resolusi... Rekonsiliasi mengutamakan hubungan, sementara resolusi mengutamakan masalah. Bila kita mengutamakan rekonsiliasi, masalah akan kehilangan maknanya dan seringkali menjadi tidak relevan. (ibid, hlm. 177)
Wah, tentu saja gue tertampar. Berapa sering gue tidak mementingkan rekonsiliasi demi memperjuangkan orang untuk setuju dengan pendapat gue? Berapa sering gue mencari solusi tapi nggak mementingkan rekonsiliasi karena gue hanya berpikir agar keinginan gue saja yang dipenuhi!

Setelah gue pikir dan pikir, ya benar juga, gue tidak mengaku salah pada saat seharusnya gue mengaku salah. Mungkin saja kegengsian gue dalam mengakui kelemahan telah menyebabkan banyak orang terluka dalam perselisihan dengan gue. Bahkan mungkin hal ini menyebabkan gue tidak bisa memulihkan hubungan lagi dengan orang-orang terkasih gue. Akhirnya, gue memutuskan untuk mengakui kelemahan gue, memohon ampun karena gue ini orangnya batu, dan ya... gue berharap bisa berkata bahwa gue sudah berekonsiliasi dengan orang tersebut.

and I thank You, Lord for reminding this
and I thank my Mom and my Dad for bearing with their stubborn daughter and forgiving her even after all of the worthless fighting
and I thank you for telling me the truth even if it hurt (my pride) but I know that the best thing for me is to acknowledge and repent.


3.27.2016

in order for a star to shine
another star must sacrifice itself
another star must die

i don't know if now i'm going to sacrifice myself
in order for you to shine brighter than sunshine

3.20.2016

Gu.

kita tak perlu bertanya kenapa
dan mungkin tidak perlu lagi menjelaskan apa-apa
mungkin kita sudah saling tahu
atau masih asing tapi malah tak mau cari tahu

3.03.2016

Salah Fokus

Akhir-akhir ini, gue merasa bahwa banyak rintangan yang gue hadapi, membuat gue pada akhirnya menjadi malas untuk mencapai tujuan-tujuan dan goals yang sudah gue set sendiri. Ada beberapa goals yang harusnya bisa gue capai tahun ini, tapi karena udah keburu takut duluan sama rintangannya, gue mundur dari usaha untuk mencapai tujuan tersebut.

And here comes His words to me...

Gue tertampar (untuk yang kesekian kalinya). Perikopnya adalah Bilangan 14:1-9. Bangsa Israel bersungut-sungut saat mengetahui bahwa mencapai tujuan mereka, negeri yang dijanjikan Tuhan, ternyata tidak semudah itu diraih. Secara, bangsa yang mendiami negeri tersebut orangnya kuat-kuat, kotanya berkubu-kubu dan sangat besar, lebih kuat dari Bangsa Israel (Bilangan 13:28, 31). Kabar dari pengintai-pengintai negeri tersebut membuat Bangsa Israel pada akhirnya bersungut-sungut minta pulang lagi ke Mesir. Selain minta pulang, Bangsa Israel bahkan mempertanyakan kenapa Tuhan membawa mereka keluar dari Mesir hanya untuk tewas dan jadi tawanan, lantas mulailah mereka ide, bahwa lebih baik mereka tinggal di Mesir daripada lenyap dibinasakan bangsa lain. Rintangan membuat Bangsa Israel ingin menyerah aja untuk meraih apa yang sudah dijanjikan Tuhan.

Tapi, adalah Yosua bin Nun dan Kaleb bin Yefune yang mencoba meyakinkan Bangsa Israel.
...dan berkata kepada segenap umat Israel: "Negeri yang kami lalui untuk diintai itu adalah luar biasa baiknya. Jika TUHAN berkenan kepada kita, maka Ia akan membawa kita masuk ke negeri itu dan akan memberikannya pada kita, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. (Bilangan 14:7-8)
Selain meyakinkan Bangsa Israel soal negeri tersebut, mereka berdua juga mengingatkan apa yang perlu umat Israel lakukan:
Hanya, janganlah memberontak kepada Tuhan, dan janganlah takut kepada bangsa negeri itu, sebab mereka akan kita telan habis. Yang melindungi mereka sudah meninggalkan mereka, sedang TUHAN menyertai kita; janganlah takut kepada mereka." (Bilangan 14:9)
Wow.

Seringkali gue bersikap seperti kesepuluh pengintai dan Bangsa Israel. Contohnya seperti yang sudah gue sebutkan di atas, ketika gue memiliki sebuah tujuan yang ingin gue capai. Gue sudah keburu menyerah ketika melihat rintangan-rintangan di depan mata yang akan gue hadapi atau ketika gue sedang dalam proses untuk mencapai tujuan tersebut, adanya rintangan yang gue hadapi membuat gue putus asa, kecewa, dan akhirnya gue membuang tujuan itu. Kemudian gue kembali berjalan tak tentu arah. Gue menyerah bahkan sebelum mulai usaha. Ya, Bangsa Israel belum memulai usahanya untuk menduduki negeri tersebut, tapi sudah keburu nyerah karena mendengar berita soal lawan mereka. Kata-kata Yosua dan Kaleb di sini meyakinkan Bangsa Israel saat itu tentang SIAPA yang menyertai dan bukan APA yang merintangi mereka.

Fokus kita dalam kehidupan ini seringkali lebih  pada kesulitan yang kita hadapi sehingga pada akhirnya kita lupa apa sesungguhnya tujuan kita dan siapa sesungguhnya yang mampu dan berkuasa menyertai kita. Salah fokus. Yep. Kesalahan dalam meletakkan fokus kita berdampak pada motivasi kita mengusahakan suatu hal. Kalau kita fokusnya sama kesusahan, kita lebih gampang terdemotivasi. Akhirnya ya itu, seperti gue, melupakan tujuan, melepas begitu saja kesempatan yang mungkin sebenarnya sudah Tuhan sediakan buat gue.

Dari Firman Tuhan hari ini gue kembali belajar dan diingatkan pentingnya membetulkan fokus gue yang kadang-kadang salah. Harusnya kita meletakkan fokus pada SIAPA yang menyertai kita. Ketika kita kembali meletakkan fokus kita pada kuasaNya, pada kemampuanNya, pada kekuatanNya, pada kebaikanNya untuk kita, pada kasihNya, kita akan lebih termotivasi dibandingkan terdemotivasi.

Satu pesan lagi di sini yang gue dapatkan adalah tentang tunduk dan taat. Tidak memberontak sama Dia. Gue berpikir bahwa Yosua dan Kaleb adalah dua orang yang tetap tunduk, taat, nurut, dan percaya sama apa yang Tuhan katakan, bahkan ketika situasinya pada saat itu rasanya mengecilkan hati kawan-kawan mereka pengintai yang lain. Kata Bapak Rick Warren dalam buku The Purpose Driven Life, ketaatan membuka kuasa Allah. Gue menyimpulkan bahwa tunduk dan taat adalah hal yang juga penting untuk membuat kita kembali fokus sama Dia dan meyakini penyertaan dan kuasaNya dalam setiap rintangan yang kita hadapi untuk mencapai sebuah tujuan.

Akhir kata, it's not about me and my problems. It's all about my God, obedience, His purpose and His power.

Fokuslah pada SIAPA yang menyertai dan bukan pada APA yang merintangi.

Nighty night.

2.16.2016

hachi.

semoga kita tetap berputar
seperti lingkaran-lingkaran tak berujung
yang membentuk sebuah angka bernama delapan
seperti lingkaran-lingkaran tak berujung
yang membentuk lambang kekekalan
tetap jadi makna walau tanpa kata

1.29.2016

Ia P'lihara

Sejak kemarin malam, gue terbeban untuk berbagi tentang apa yang gue dapet dari perikop Alkitab dan bacaan saat teduh kemarin. Perikop Alkitab yang diberikan kemarin berasal dari Keluaran 16:11-31. Judul dalam Alkitab versi Terjemahan Baru dari bagian Alkitab ini adalah Manna, Sabat.

Apa sih manna itu? Menurut Kamus Alkitab, manna adalah makanan yang diberikan kepada orang Israel selama di padang belantara. Dideskripsikan begini: "...warnanya putih seperti ketumbar dan rasanya seperti kue madu." (Keluaran 16:31)
Tetapi Musa berkata kepada mereka: "Inilah roti yang diberikan TUHAN kepadamu menjadi makananmu. (Keluaran 16:15)
Yap, Bangsa Israel memiliki manna, roti yang langsung diturunkan Tuhan dari surga sebagai makanan mereka setiap harinya. Terus, kalau kita cermati selanjutnya, apa lagi yang difirmankan Tuhan kepada mereka?
Beginilah perintah Tuhan: Pungutlah itu, tiap-tiap orang menurut keperluannya; masing-masing kamu boleh mengambil untuk seisi kemahnya, segomer seorang, menurut jumlah jiwa. (Keluaran 16:16)
Musa berkata kepada mereka: "Seorangpun tidak boleh meninggalkan dari padanya sampai pagi." (Keluaran 16:19)
Selanjutnya kata Musa: "Makanlah itu pada hari ini, sebab hari ini adalah sabat untuk Tuhan, pada hari ini tidaklah kamu mendapatnya di padang. Enam hari lamanya kamu memungutnya, tetapi pada hari yang ketujuh ada sabat; maka roti itu tidak ada pada hari itu." (Keluaran 16:25-26) 
Gue menangkap ada tiga terms & conditions yang diberikan Tuhan buat Bangsa Israel, yakni:

  1. manna hanya boleh diambil seperlunya (dan menurut pemahaman gue, secukupnya), 
  2. tidak boleh disisakan sampai pagi, dan 
  3. tidak ada manna yang diturunkan dari surga pada hari Sabat.
Tapi Firman Tuhan bilang 
  1. "...ada yang tidak mendengarkan Musa dan meninggalkan dari padanya sampai pagi, lalu berulat dan berbau busuk." (Keluaran 16:20) 
  2. "Tetapi pada hari yang ketujuh ada dari bangsa itu yang keluar memungutnya, tidaklah mereka mendapatnya."
Ya, sejelas-jelas apapun Firman Tuhan yang disampaikan melalui Musa kepada mereka, mereka tetap tidak menjalankan sesuai dengan Firman Tuhan, mereka masih ada yang melanggar perintah Tuhan. Respon Tuhan adalah respon yang memukul gue kemarin saat membaca bagian ini:
Sebab itu TUHAN berfirman kepada Musa: "Berapa lama lagi kamu menolak mengikuti segala perintah-Ku dan hukum-Ku?"
Apa sih sebenernya yang membuat kita nggak bisa mengikuti perintah dan hukum yang sudah difirmankan Tuhan? Izinkan gue menjawab bahwa rasa ragu adalah penyebabnya. Gue melihat dari pelanggaran beberapa orang Bangsa Israel tadi. Mereka sudah diberitahu untuk mengambil seperlunya, bukan berlebihan tetapi gue berpikir, ada kemungkinan bahwa mungkin mereka ragu besok akan ada lagi makanan yang bisa mereka makan, secara mereka lagi di gurun coy. Mereka ragu sehingga nggak bisa sepenuhnya percaya sama pemeliharaan Tuhan yang berakibat pada kelalaian dalam menjalankan perintah dan hukum Tuhan. Padahal, Tuhan sudah berfirman:
"Aku telah mendengar sungut-sungut orang Israel; katakanlah kepada mereka: Pada waktu senja kamu akan makan daging dan pada waktu pagi kamu akan kenyang makan roti; maka kamu akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, Allahmu." (Keluaran 16:12)
Dari sini, gue bahkan mendapatkan bahwa ketika Tuhan sudah berjanji memelihara, ya Dia akan pelihara, dengan cara yang bahkan kita gak akan pernah kepikiran. Bukti-buktinya ada dalam ayat selanjutnya toh, tiap pagi mereka diberi manna dan dibilang nggak kekurangan.

Seringkali, gue ini mikir dua kali dalam melaksanakan perintah dan hukum Tuhan. Ada keraguan yang diselingi dengan hitung-hitungan. "Bener nggak ya kalau gue nurut sama Tuhan, Tuhan akan kasih ini? Jangan-jangan nanti gue malah kena hal yang lebih buruk lagi." Pikiran-pikiran semacam inilah yang menurut gue merusak ketaatan seseorang dalam melaksanakan perintah dan hukum Tuhan. Keraguan akan pemeliharaanNya selama kita mengikuti perintah dan hukumNya membuat gue kadang nggak bisa enjoy untuk taat. Karena kita terkadang mikir dari sudut pandang kita sendiri secara manusia kalau kita taat sama perintahNya, kita akan susah, akan a b c d e lalala, pokoknya yang nyusahin kita aja yang terjadi.

Inti dari apa yang ingin gue bagikan di sini adalah mari kita belajar untuk tetap yakin dalam menjalankan perintah dan hukumNya karena kita tahu Dia memelihara dan supaya kita bisa tetap bersyukur dan bersukacita dalam pemeliharaanNya tersebut. 

1.15.2016

Nana

Apa yang kamu pikirkan saat terlintas di pikiranmu sebuah angka yang kau sebut tujuh?
Bulan Juli yang punya 31 hari?
atau jumlah hari dalam satu minggu yang seringkali kau sia-siakan?
dan mungkin terlintas di kepalamu tentang angka sempurna yang ada dalam Kitab Suci
Bahkan mungkin banyak waktu yang kau gunakan untuk tidur sepanjang malam
tujuh menit mendengar ceramah
dan tujuh-tujuh lain yang tiap orang beda-beda memaknainya

Aku lupa sejak kapan aku suka angka tujuh
Mungkin sejak ada anggapan yang berkata tujuh itu angka sempurna
atau bulan tujuh yang menakdirkanku lahir ke dalam dunia
Ah... malam ini aku menyadari bahwa ada alasan lain aku suka angka tujuh
Mungkin karena vokal dan konsonan yang membentuk nama seseorang itu jumlahnya tepat tujuh
tujuh huruf yang kadang ingin sekali kulempar saja ke Danau Mahoni
tujuh huruf yang seringkali kala renjana menggigit dipanggil tapi tetap yang kuterima adalah hening
ya, aku memanggilnya dalam diam, kadang dalam doa, kusampaikan pada Sang Pencipta
tujuh huruf yang kala geram kupanggil, kala sedih kucari, dan kala senang tempatku ingin berbagi

tujuh huruf, selamat tanggal limabelas yang ketujuh. tidak apa aku yang ingat saa. 

아이처럼 웃고
아이처럼 울고
고맙고 고맙다.

1.09.2016

nostalgi(l)a

Hai.

Post pertama di tahun 2016 ini adalah soal nostalgia yang berujung mengingat saat-saat tergila. SMA. Okay. Sebenernya gue udah lupa pernah ngapain aja pas SMA. Serius. Selupa itu. Kemarin-kemarin, kelupaan gue ini juga menjadi bahan chat sama temen gue, sebut saja G (yang juga lupa pernah ngapain aja pas SMA). Kuliah empat tahun ngapain aja gue udah lupa, ini lagi SMA yang udah nyaris enam tahun lalu.

Jadi, malam ini gue iseng melakukan hobi gue, blogwalking, dan ngecek blog temen gue. Gue nge-klik post yang isinya banyak cerita dia bersama orang yang ia kasihi saat SMA, saat dia masih delapanbelas. Tau apa kita di usia delapanbelas selain rumus-rumus fisika, hafalan biologi, atau menghitung debit-kredit, yang semuanya akan diujikan untuk UTS UAS kala itu? Yeah, mungkin itu gue di usia tujuhbelas.

Masa SMA gue tidak segila itu sebenarnya. Boro-boro dibanggakan, yang dikenang aja apaan udah lupa. Selain pernah ikutan lomba bersama teman-teman, main kartu pas di kelas lagi nggak ada guru (yeah, main kartu!), main monopoli zaman harusnya sibuk persiapan UN. Eh ini kenangan dong ya jatuhnya? Haha, intinya believe me, zaman itu, main monopoli dan main kartu lebih asik main secara real dibanding main di dunia maya seperti zaman sekarang, you can't trade the laugh you share with your friends through virtual world. Yap masa SMA gue berwarna sebenarnya. Kelabu. Kadang biru muda, pernah sih merah muda, pernah juga merah jingga. Tapi lebih sering kelabu. Monoton. Gue tidak melakukan apapun untuk mengembangkan diri gue saat itu, gue bahkan menutup diri, dan menyesal saat ini. Serius. Gue menyesal karena menghalangi perkembangan diri gue dengan sebuah ketakutan yang kalo gue pikirin sekarang, (masih) mengerikan tapi sebenarnya nggak berhak jadi penghalang gue untuk maju. Gak ada yang berhak menghalangi seseorang untuk maju dan mengembangkan dirinya sendiri, itulah pikiran gue, yang saat ini umur duapuluh, bukan limabelas. 

Ternyata waktu memang memberikan kita ruang untuk berubah dalam berbagai aspek. Pemikiran adalah yang paling kentara dari semuanya itu. Waktu dan segala hal yang terjadi di dalamnya menempa seseorang. Mengubah. Entah lebih baik atau kurang baik. Tapi dari bernostalgia yang gue lakukan malam ini, gue menyadari bahwa gue berubah, teman gue berubah, mungkin dia juga sekarang cuma ketawa kalau baca post di blog-nya yang mendayu-dayu, mungkin menyesal, mungkin ada rasa lain lagi, sama seperti gue yang mengingat kejadian-kejadian yang sudah lalu. Perlu gue syukuri, kejadian-kejadian di masa lalu menempa gue menjadi gue yang ada di masa sekarang. Gue tidak bisa menyalahkan keadaan, bahkan sebenarnya gue nggak berhak. Kenapa? Karena keadaan sudah membentuk gue. Menjadi lebih baik. Setidaknya itulah yang gue dapatkan dan gue pikirkan.

Btw, gue tiba-tiba teringat lagi sebuah kenangan. Cabut bersama teman-teman akrab pas SMA. Cabut = bolos kelas. Hahaha... gue inget, pas itu jam istirahat kedua, siang-siang. Setelahnya adalah pelajaran Ekonomi. Sebenarnya gurunya baik, tapi... ya namanya bocah SMA, dikasih yang baik-baik kadang gak ngerti dan gak berterima kasih, jadilah kami memutuskan untuk tidak ikut pelajaran tersebut, refreshing. Itulah pikiran kami haha... Kami berempat saat itu. sebut saja, gue, G, I, dan A. Jujur, gue nggak pernah bolos sebelumnya. Takut banget gue sama yang begituan haha... Tapi teman gue si G dan A meyakinkan niat, bolos pake surat izin. Hahaha... zaman itu, surat izin untuk keluar sekolah ada di meja piket dan kayaknya si G pernah sampe fotokopi itu surat deh. Jadilah akhirnya surat izin tersebut tertera nama gue, G, I, dan A. Tau alasan apa yang kami pakai buat izin? Ikutan lomba Bahasa Indonesia! Kalo inget sekarang, astaga... apa yang sudah gue lakukan hahaha... Intinya kami cabut, dengan surat izin yg sudah ditanda tangani guru piket, dan beralasan ikut lomba, tanpa dicurigai (sepertinya). Lalu, naik mobil si A, kami ke Gading. Tapi lupa ngapain aja, yang gue inget kita jalan-jalan aja, terus kemudian pulang. Asli ga penting. Tapi setiap gue inget, gue senyum sendiri. Gue pernah bandel, gue menyesal, dan gue jadi tau apa yang harusnya nggak gue lakukan. Still, pergi sama mereka hari itu mengukir kenangan tersendiri yang masih bisa gue tertawakan hari ini.