Postingan ini sifatnya sebagai catatan pengingat dan perenungan untuk diri gue sendiri atau mungkin juga orang lain yang kebetulan membaca...
Gue pernah memiliki masalah dalam hubungan dengan orang-orang terdekat yang gue kasihi. Yah siapa sih yang nggak pernah ribut dengan keluarga, pacar, rekan kerja, atau teman dekatnya? Masalahnya seringkali sepele, salah ucap, salah dan kemudian gagal paham, disulut api emosi, lalu meledak. Gue orangnya mudah tersulut emosinya, ditambah keras kepala dan nggak mau ngaku salah. Makanya setiap kali ada masalah yang terjadi dalam hubungan gue dengan orang-orang terdekat, gue akan bersikeras menyatakan bahwa "Ini loh maksud gue. Pahami dong!" dan walaupun mungkin maksud gue itu salah, gue jarang ingin mengaku salah.
Suatu kali gue berselisih sama Mamy via BBM karena sebuah masalah yang kalau gue pikir-pikir lagi, itu sangat sepele dan gak ada untungnya diperdebatkan. Dalam masalah ini, jujur gue akui bahwa gue yang salah tapi kejelekan gue seperti yang sudah disebutkan di atas, gue keras kepala dan nggak mau ngaku salah, bersikukuh sama pendapat gue, hingga Mamy marah. Mamy bilang gue ini suka salah paham menilai pendapat orang. Gue nggak terima dan masih nggak mau ngaku. Dengan tidak ikhlas gue meminta maaf. Pokoknya pas itu gue merasa bebal banget deh jadi anak. Gue hanya meminta maaf untuk mendinginkan keadaan, bukan karena gue mengaku gue salah dan menyesali perbuatan gue.
Minggu kemarin gue bertengkar dengan seseorang, masalahnya nggak sepele sebenernya, tapi kalo gue liat, semua berakar dari keras kepalanya gue (gue baru menyadarinya 48 jam kemudian, by the way). Gue tetap aja nggak mau ngaku salah, nggak mau ngaku bahwa akar masalahnya ada pada sifat gue. Gue kembali lagi meminta maaf hanya sekedar untuk mendinginkan keadaan. Parahnya lagi, gue langsung "menodong" solusi untuk masalah yang sedang kami hadapi, di saat sebenarnya gue sendiri tidak tahu apa akar masalahnya. Karena tidak menemui solusi, pembicaraan buntu, relasi kurang baik, perasaan nggak enak, tidur juga nggak nyenyak.
Dua hari setelah perselisihan yang terjadi dengan keadaan yang sepertinya tidak juga membaik, gue membaca sebuah artikel atau encouragement yang gue lupa bersumber dari mana, intinya adalah bahwa terkadang kata-kata "Maafkan saya..." tidak lebih ampuh daripada "Saya mengakui kesalahan saya, bahwa saya..." ketika kita ingin dimaafkan oleh seseorang. Gue tertegur dengan kata-kata ini sih. Gue kembali berpikir, di saat-saat gue berselisih dengan Papy, Mamy, atau partner gue, gue terlebih dahulu memohon maaf tapi enggan mengaku salah. Main aman. Padahal mungkin mereka akan lebih lega dan gue juga mungkin akan lebih lega ketika gue mengakui kesalahan, baru kemudian meminta maaf. Buat gue, mengakui kesalahan berarti kita menyadari peran kita dalam konflik tersebut dan kita mengetahui dengan jelas alasan kita meminta maaf, bukan minta maaf yang sekedar basa-basi, tentu saja.
Setelah itu, gue kembali teringat akan perkataan Bapak Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life yang berbicara tentang bagaimana memulihkan hubungan yang retak. Ia mengatakan bahwa:
Pengakuan merupakan alat yang penuh kuasa untuk rekonsiliasi. Seringkali cara kita menangani sebuah konflik malah menimbulkan luka yang lebih besar daripada masalah awalnya itu sendiri. (Warren, 2002: 175-176)
...dengan jujur akui saja setiap peran yang Anda mainkan dalam konflik tersebut. Terima tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Anda dan mintalah pengampunan. (Warren, 2002: 176)
Sebenarnya, Bapak Rick menuliskan beberapa langkah namun yang paling gue ingat ada dua, dan salah satunya adalah yang telah gue kutip di atas. Mengakui kesalahan menjadi faktor untuk kita dapat memulihkan sebuah hubungan karena dengan mengakui kesalahan, kita tahu bagian mana dari diri kita yang perlu diperbaiki. Lagi, perkataan yang menegur gue dari buku ini adalah:
Utamakan rekonsiliasi, bukan resolusi... Rekonsiliasi mengutamakan hubungan, sementara resolusi mengutamakan masalah. Bila kita mengutamakan rekonsiliasi, masalah akan kehilangan maknanya dan seringkali menjadi tidak relevan. (ibid, hlm. 177)
Wah, tentu saja gue tertampar. Berapa sering gue tidak mementingkan rekonsiliasi demi memperjuangkan orang untuk setuju dengan pendapat gue? Berapa sering gue mencari solusi tapi nggak mementingkan rekonsiliasi karena gue hanya berpikir agar keinginan gue saja yang dipenuhi!
Setelah gue pikir dan pikir, ya benar juga, gue tidak mengaku salah pada saat seharusnya gue mengaku salah. Mungkin saja kegengsian gue dalam mengakui kelemahan telah menyebabkan banyak orang terluka dalam perselisihan dengan gue. Bahkan mungkin hal ini menyebabkan gue tidak bisa memulihkan hubungan lagi dengan orang-orang terkasih gue. Akhirnya, gue memutuskan untuk mengakui kelemahan gue, memohon ampun karena gue ini orangnya batu, dan ya... gue berharap bisa berkata bahwa gue sudah berekonsiliasi dengan orang tersebut.
and I thank You, Lord for reminding this
and I thank my Mom and my Dad for bearing with their stubborn daughter and forgiving her even after all of the worthless fighting
and I thank you for telling me the truth even if it hurt
(my pride) but I know that the best thing for me is to acknowledge and repent.